Selasa, 07 Juni 2016

Bisa Jadi Sarjana



Ikatan persaudaraan bisa terbangun dengan berbagai corak dan warna. Persaudaraan yang tumbuh berdasarkan agaman, suku, daerah, tempat pendidikan, pekerjaan, dll. Persaudaraan yang semakin berkembang dengan berbagai output yang positif, tidak dapat dipandang sebelah mata dan sama sekali tidak ada. Sementara di sisi lain, persaudaraan yang memunculkan output negatif pun, tak dipungkiri bukannya tidak ada. Adalah sebuah harapan, persaudaraan yang ada merupakan pilihan dengan kesadaran untuk saling mengisi dan berbagi membangun negeri.

Merantau begitu tamat SMK (setara SMA), diambil sebagai keputusan yang sangat berani. Tidak tanggung-tanggung, merantau jauh ke Indonesia bagian tengah. Menempuh perjalanan panjang selama 1 minggu dari barat menuju sebuah harapan di tanah orang, di bagian lain NKRI. Sebuah tekad disematkan mendalam di hati sanubari, bisa dapat pekerjaan di pulau berbentuk huruf K.

Kala senja di penghujung reformasi, tahun 1998, sebuah kapal berlabuh di kota di bagian tengah Indonesia. Seorang penumpang remaja tanggung berperawakan kecil, penuh semangat menuruni tangga menginjak dermaga. Bertanya kepada beberapa orang, diketahui bahwa menuju pusat kota dengan lama perjalanan sekitar 1,5 jam, memerlukan ongkos sejumlah Rp. 15.000, sementara dompet lusuhnya, menyisakan lembaran uang sejumlah Rp. 10.000. 

Adu tawar dilakukan dengan seorang sopir angkot yang sedang mencari penumpang. Sopir angkot bersedia menerima ongkos dengan uang yang tersisa. Tas pun langsung disimpan di dalam angkot. Sang sopir sibuk kembali mencari penumpang lainnya untuk menggunakan jasanya. Teriakannya diarahkan kepada penumpang yang sedang berduyun-duyun menuruni anak tangga dari kapal. 

Asyik mengamati berbagai tingkah dan kejadian yang ada di hadapannya, sekilat kemudian datang menghampiri seorang lelaki berperawakan tinggi. Seorang sopir yang mau menjemput majikannya. Ditanyanya tentang kapal yang sedang berlabuh. Kemudian ditanyanya daerah asal, mau apa, mau ketemu siapa, hingga akhirnya berujung dengan penggunaan bahasa yang sama, karena berasal dari daerah yang sama

Buahnya, batal naik angkot. Beralih ke mobil dengan sopir tadi dan bersama majikannya. Bahkan, remaja tersebut bermukim dan sekaligus bekerja di majikan yang kemudian dipanggilnya Om itu. Bekerja di sebuah rumah makan.

Beranjak dengan tugas di bagian belakang, sebulan kemudian maju ke bagian depan sebagai pramusaji yang membawakan makanan dan minuman untuk pada pengunjung. Dari sekian pengunjung yang umumnya juga orang yang memiliki selera yang sama, ada pengusaha bengkel yang mengajak untuk bekerja di bengkelnya. Tawaran itu diterimanya karena sesuai dengan pendidikan yang pernah dienyamnya, yaitu SMK jurusan otomotif. Setelah mendapat izin dari Om Rumah Makan, tempat berlabuhnya kemudian pindah ke Om Bengkel.

Bekerja penuh hati menjadi montir, memunculkan sebuah tawaran dari Om Bengkel pada dirinya untuk kuliah di sebuah universitas negeri di kota tersebut. Tawaran itu dijalaninya dengan mengikuti seleksi dan akhirnya diterima di Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan. Maka kesehariannya dijalani dengan lebih beragam. Pagi kuliah, siang dan sore membengkel. Kadang sebaliknya, pagi di bengkel, siang dan sore di kampus. Perjalanan ke kampus, diantar oleh angkot milik Om Bengkel. Sekali dua kali, peran berganti. Ada sopir angkot yang berhenti. Kerja di bengkel dihentikan, berubah menjadi sopir angkot. Jika kuliah, jadilah angkot itu pun mangkal di kampus.

Suatu waktu, berjumpalah dengan seorang pengusaha yang sedang melakukan pengembangan di Kota kecil tersebut. Berawal dari antar jemput dari dan ke hotel, diselingi diskusi kecil, pengusaha tadi rupanya tertarik dengan berbagai solusi yang dianjurkan oleh pemuda itu untuk mengatasi persoalan yang dihadapi perusahaannya. Dimintanya untuk menjadi kepala perwakilan di Kota itu. Kemudian direkrutlah karyawannya. Di luar dugaan, perusahaan itu maju dan berkembang cukup pesat. Usaha lain pun diraihnya. Masuk ke usaha pengolahan hasil bumi. Mendadak gaya hidupnya berubah drastis. Menjadi pemuda yang berjaya di tanah rantau. Rumah, mobil dan motor, bisa dibelinya. Lima kawan kuliahnya, ditampung di rumahnya. Kebutuhannya, dipenuhinya. Mulai dari biaya makan, kuliah, hingga kehidupan malam di setiap pekan.  

Keadaan yang sedemikian, tidak lantas melupakan diri dari tekadnya untuk menuntaskan kuliahnya. Jelang ujian akhir di penghujung tahun 2002, usahanya dipercayakan pada karyawannya untuk dikendalikan selama kurang lebih 2 minggu. Sementara dirinya fokus pada kuliah. Apa disangka, semua di luar dugaan. Semua kembali ke titik NOL. Bahkan jungkir balik menjadi minus. Karyawan yang diberinya kepercayaan, melakukan berbagai penyimpangan. Habis semuanya. Menjadi gembel di jalanan kota, sempat dijalaninya. Hingga akhirnya, dia berlabuh kembali ke Om Bengkel.

Menjadi sopir angkot lagi dan penuh semangat menuntaskan kuliah, tersisa ujian praktek, penelitian, penyusunan skripsi, sidang dan wisuda. Ujian praktek dan penelitian menjadi kendala berat yang dihadapinya. Dua hal dengan biaya yang cukup besar. Tapi nikmat selalu datang menghampirinya. Ujian praktek dan penelitian secara tidak langsung dibiayai oleh dosennya yang sedang menempuh pendidikan S-3. Dosen perempuan dari Bali itu, seolah menjadi perahu yang membawanya berlayar ke pulau harapan. Diceritakannya bahwa dia seorang perantau, hidup di kontrakan, jadi sopir angkot, punya anak dua, tapi bertekad jadi SARJANA. Bahkan permintaan agar dosen pembimbingnya adalah Dosen A, B dan C, dikabulkan oleh Dosen tersebut. 

Kuliah dijalaninya 24 SKS/semester dengan 6 – 7 mata kuliah. Menurut pandangan teman-temannya, hal tersebut terlalu banyak. Apalagi dirinya jarang masuk karena narik angkot atau sibuk di bengkel. Tapi prinsinya dibenarkan. Jika dia ambil 5 mata kuliah, sementara yang lulus 3 kuliah, maka rugi yang dialaminya. Jadi lebih baik diambil 7 mata kuliah, kemudian hasilnya 5 mata kuliah dinyatakan lulus, meskipun akhirnya harus mengulang 2 mata kuliah. 

Teman-teman di kampus cukup banyak membantunya. Bahkan mereka pun sempat mendeportasi seorang dosen KILLER. Dosen yang sering mengumpat dan marah-marah. Keputusan pun diambil. Tidak boleh berkepanjangan. Harus ada tindakan. Semua mahasiswa 1 kelas, sepakat membawa badik. Ketika dosen itu masuk kelas, kemudian menanyakan tugas yang harus dilaksanakan oleh mereka, dan ditanggapi bahwa tugasnya belum selesai, seketika amarah dan umpatan itu muncul. Maka seketika itu pula, Pemuda tersebut maju dengan mengacungkan badik. Meletakkan badiknya di meja. Sementara mahasiswa lainnya, mengacungkan badiknya masing-masing. Sang dosen langsung pucat. Terdiam. Sebentar kemudian, ditinggalkannya kelas itu. Beberapa waktu berganti, sang dosen dimutasi ke tempat lain. Sementara dirinya mendapat skorsing 2 minggu.

Memasuki akhir kuliah, penyusunan skripsi ditempuhnya dengan cepat. Skripsinya langsung disusun secara lengkap dari bab awal hingga bab akhir. Konsultasi dengan pembimbing pun, draft skripsinya dibawa lengkap tidak diajukan per bab. Taktik jitu dijalankan.  Koreksi dari pembimbing satu, tidak lantas diperbaiki, tapi langsung disampaikan pada pembimbing dua dan tiga. Setelah dilakukan perbaikan dan konsultasi ulang, ketika ada koreksi dari pembimbing satu, disampaikannya bahwa hal tersebut sudah sesuai dengan arahan pembimbing dua. Demikian seterusnya dia berkilah.  

Skripsipun, akhirnya jadi dengan koreksi yang minim. Persidanganpun dijalaninya dengan meriah. Selepas sidang, semua dosen disuguhkan dengan makanan khas daerahnya. Keluar dari ruang sidang, ketawa riang yang ditampakkan. Tidak seperti mahasiswa lain yang umumnya tampak pucat dan lemes. Nilai B didapatnya. Hingga akumulatif IPK nya adalah, 2,97. Hmmmm....kurang 0,3 untuk bisa dapat nilai 3. Biarlah....terpenting kuliah kagak nanggung.

Selepas wisuda, permasalahan berikutnya muncul. Mahasiswi lokal ada yang menyukainya. Sejatinya tidak ada hubungan resmi hingga dinyatakan dengan status kekinian, yaitu PACAR. Tapi sang mahasiswi menyatakan bahwa dia adalah pacarnya. Hingga orang tuanya berupaya keras untuk meminangnya menjadi menantu. Diajaknya dia untuk meninjau sepetak tanah kosong. Dimintanya pertimbangan darinya untuk tata letak dan arah bangunannya, perkiraan jumlah kamarnya, hingga kebutuhan biayanya. 

Sebatas teman dan tidak ada maksud untuk berjoodoh, sebuah upaya dijalaninya. Dalam sebuah pertemuan dengan sang mahasiswi, dia sengaja menenggak miras yang dicampur minuman berkarbonasi. Bertujuan agar dirinya mendapat penilaian buruk. Tapi karena tidak ada niat jahat, maka yang terjadi malah sebaliknya. Sang mahasiswi tetap berpengharapan. Diyakininya bahwa kelak ABANGDA adalah panutan yang penuh dengan keshalehan. Alamaaaaakkkkk. Cinta sudah berlabuh kuat di hatinya. 

Hingga di hari yang lain, nikmat itu senantiasa bersamanya. Ketika mengantar penumpang ke pelabuhan, promosi tiket kapal laut menuju Tanjung Priok, memikat hatinya. Harga semula Rp. 700 ribu, dapat dibelinya setengah harga. Jadilah di suatu pagi, dia berpamit pada Om Bengkel dan Om RM serta teman terdekat. Ungkapan terima kasih, dihaturkan sebanyak desahan nafas dan peluh keringat yang dijalani bersama mereka. Argumennya bahwa sebagai anak sulung dari 5 bersaudara, sudah menjadi garis untuk tetap tinggal di kampung halaman.

Seminggu kemudian tiba di Tanjung Priok, dikontaknya sang mahasiswi. Berpamitan secara baik-baik. Bahwa jodoh tidak bisa berpadu di antara keduanya. Pahit dirasa, moga tidak lantas mematahkan ikatan persaudaran yang telah terjalin. 

Kerasnya perjalanan Pemuda yang sekarang bertugas dalam sebuah program pemberdayaan, terurai sejak menempuh pendidikan di tingkat SD.  Sambil mengumpulkan barang bekas (rongsokan), ijazah SD dan SMP direngkuhnya. Teman sekolah bertambah, kegiatan ‘pemulung’ ditinggalkan saat dirinya masuk SMK. Ada rasa malu. Dia pun beralih menjadi kernet mobil colt diesel yang mengangkut berbagai sayuran ke berbagai kota/kabupaten lain. Dalam satu minggu, hanya 2-3 hari masuk sekolah. Beberapa kali Guru BP memanggilnya. Saking saringnya, di ruangan BP hanya disuruh duduk berdiam diri. Tidak diceramahi lagi karena permasalahan selalu berkaitan dengan keharusan mencari uang dengan menjadi kernet agar bisa membiayai sekolahnya. Bahkan kuliahpun, dibiayai sendiri. Hingga dirinya bisa menjadi SARJANA.

Hidup yang keras dan penuh tantangan bukanlah sebuah musibah atau nasib buruk. Pembentukan karakter terjadi secara alami seiring berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya hingga menjadi seorang DEWASA. Karakter yang siap dan teruji dalam menjalani kehidupan pribadinya dan dunia kerjanya. Karakter yang dapat menerima arti sebuah pertemanan dan kebersamaan untuk saling berbagi dan mengisi, bukan semata meraih sukses, melainkan SUKSES BERSAMA.

(1 Juni 2016, hujan deras meningkahi jalanan kota).