Kamis, 24 Juli 2014

Meluncur Doa


I Love Damri
Kota Bandung yang terus bertumbuh, pelayanan Bis Damri semakin berkembang. Melalui Trans Metro Bandung (TMB), Damri meluncurkan bis dengan tampilan elegant. Bekerja sama dengan beberapa perusahaan swasta, Damri pun memfasilitasi layanan gratis bagi pelajar pada hari Senin dan Kamis. Dan aku, bagian dari warga Bandung yang menikmati layanan Damri sejak baheula. Menjadi bagian dari gerakan agar jalanan Bandung tidak makin heurin dan macet. Yes, I love Damri.

Jelang tengah hari, 17 Maret 2014, pukul 11.15 WIB dari halte TMD depan BCA jalan Ahmad Yani, aku naiki Damri Jalur 1 Jurusan Cicaheum – Cibeureum. Kursi otomatis terbuka. Kujejaki tangganya. Kulepas pandangan. Semua kursi terisi. Kubelah lorong barisan kursi untuk berdiri dekat kursi barisan belakang. Kemudian sebuah tiket aku tukar dengan uang sejumlah Rp. 3.000. 

Pak Jejen
Di halte Stadion Persib, naik seorang Pak Tua, penjual koran. Sementara aku berdiri, Pak Tua itu memilih duduk di bawah di depan pijakan kaki para penumpang di kursi barisan belakang. Ketika bis sampai di sekitar Pasar Kosambi, banyak penumpang yang turun. Beberapa kursi yang kosong di barisan belakang siap untuk diduduki penumpang, termasuk aku yang kemudian duduk di sebelah Pak Tua yang telah duduk lebih dulu.

Aku sampaikan obrolan kecil. Pak Tua bercerita bahwa dari Senin hingga Sabtu, berkeliling jualan koran ke beberapa kantor pemerintah, antara lain di kantor Dinas Pariwisata. Pak Tua itu bernama Jejen. Pak Jejen belum punya cucu. Selain nikah di usia yang terbilang tidak muda, kedua anaknya adalah laki-laki dan saat ini mereka masih lajang. Si cikal berusia 22 tahun dan sudah lebih dari satu tahun bekerja di bengkel. Sementara si bungsu kelas 3 SMK  jurusan mesin. Saat akan turun di perempatan Jalan Suryani, Pak Jejen sempat menyampaikan sebait doa. Aku jabat tangan Pak Jejen. 

Tiba di bunderan Cibeureum, kang Deden sudah menanti dengan motornya. Beberapa menit kemudian, aku tiba di Aula kelurahan Cijerah. Terletak di lantai atas, ruangan pelatihan masih belum terisi penuh. Peserta pelatihan belum komplit. Di bagian depan sudah terpasang sebuah spanduk. Buku tulis untuk peserta, diberi cover yang mencirikan kekhasan pelatihan yang akan digelar. Luar biasa kesiapan dan sambutan panitia. Aku berikan 1 jempol.

Pak Ojang
Lepas Maghrib, diantar kang Didi, aku bergegas menuju lampu merah perempatan Pasir Koja – Soekarno-Hatta (Bypass). Ya, aku mesti segera meluncur ke Sukabumi. Beruntung, bis Bhinneka masih menyisakan 1 kursi di bagian belakang. Aku duduk di sebelah seorang  Pak Tua. Ternyata Pak Tua itu tunarungu dan wicara. Ketika aku tanya berapa jam perjalanan Bandung - Sukabumi, Pak Tua menunjukkan 3 jarinya. Beberapa kali aku ajak bicara, Pak Tua berbicara kurang jelas dan sesekali menunjukkan pendengarannya.

Daripada diem dan ngalamun aja, berikutnya aku ajak Pak Tua untuk berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Aku gerakkan jari tangan untuk menulis YAYAN, nama kecilku. Aduh, bahasa isyaratku payah. Beralih, aku ajak Pak Tua ngobrol dengan tulisan. Diawali dengan menulis ulang namaku. Aku minta Pak Tua menuliskan namanya. Pelan-pelan tangan kanannya menggerakan pena. Ditulisnya ‘OJANG’. Oh, itu nama Pak Tua. Pak Ojang sudah punya 3 orang cucu.

Pak Ojang aku ajak selfie pake kamera Canon. Kemudian aku perlihatkan photonya. Ternyata mata Pak Ojang sudah agak rabun. Meski begitu, Pak Ojang tampak senang banget. Beberapa kali Pak Ojang menunjukkan thumnya. Aku berikan sebuah kartu nama dan Pak Ojang menggerakkan tangannya membentuk kacamata. Mengisyaratkan bahwa penglihatannya sudah kurang bagus. Photo tadi aku pasang di laptop. Aku perlihatkan photonya dengan zoom. Aku tunjukkan gambarnya. Lama menatap sambil tersenyum, Pak Ojang mengeluarkan lagi jempolnya. Disekanya bulir titik air dari matanya. 

Jelang Ciranjang, lagu Ayah yang dilantunkan Ebiet G. Ade, menjadi penutup obrolan kami. Bispun kemudian melaju dihiasi pedagang asong yang berjualan Tahu Sumedang dan kacang goreng yang ditingkahi oleh obrolan sang sopir dengan kernetnya.

Aku perhatikan, Pak Ojang mengamati setiap sudut tempat yang dilewati bis. Sepertinya Pak Ojang sedang mencermati ‘tanda’ bangunan/tempat sebagai acuan untuk turun. Dugaanku betul, Pak Ojang mau turun di batas Kota Cianjur jelang terminal Rawabango. Pak Ojang menggerakkan tangan kanannya menyerupai kendaraan yang sedang melaju, kemudian telunjuk tangan kanannya menekan telapak tangan kirinya. Aku jabat tangan kanannya. Pak Ojangpun beranjak dari kursinya. Ketika sang kernet bertanya, Pak Ojang hanya mengangguk. Kemudian aku tegasan bahwa Pa Ojang minta turun di sini. Saat ini. Sekarang juga. Sang kernetpun menggerakkan uang logamnya, mengetuk kaca jendela sebagai sign pada sang sopir bahwa akan ada penumpang yang akan turun.

Mang Ihin
Jelang tengah malam, untuk pertama kali, aku jejakkan kaki di terminal Kota Sukabumi. Menanti Mang Ihin datang menjemput, aku dekati penjual ketan oncom. Sambil mematangkan ketannya, obrolan pun terbentuk. Sementara alunan musik dangdut, membuat asyik sebuah proses ‘pematangan ketan’ yang sedang berlangsung. Proses itu berulang kembali manakala Mang Ihin tiba dan kemudian aku pesankan 5 buah ketan.   

Mang Ihin adalah anak pertama dari adik kakekku. Pertemuan kami biasanya terjadi di Limbangan Kabupaten Garut pada saat Lebaran. Mang Ihin beserta keluarganya, menyambutku dengan suka cita. Berbagai makanan sudah disiapkan. Kamar depan, biasanya dihuni Ilham, anak pertamanya, malam ini, jadi milikku. Ilham untuk sementara bergabung dengan adiknya di kamar dekat dapur. Tak lama, akupun terlelap. Bersiap untuk esok mengisi pelmas di aula Kantor PU Kota Sukabumi.

Ketika mentari mulai menyapa, aku dan Mang Ihin keluar rumah. Mencermati lingkungan dan jalanan yang tadi malam kami lalui. Sesekali kujepretkan tombol si Canon untuk mengambil gambar. Rumah Mang Ihin ternyata dikelilingi sawah. Sepenggalan jalan menuju rumahnya, adalah buah dari gotong royong kegiatan PNPM MP tahun 2009. Kondisi jalannya masih cukup bagus. Jempol untuk BKM Ikhlas Kelurahan Sindang Sari dan Tim Faskel. Kami langkahi jalan setapak itu hingga tiba di pesantren At-Taqwa. Aku juga cermati sebuah MCK buah dari P4IP dan sedikit bergaya dekat papan proyek P4IP untuk kegiatan saluran irigasi yang terletak persis di depan Rumah Mang Ihin.  

Di pagi itu, 18 Maret 2014, menjadi hari yang lain bagi Mang Ihin. Ada aktivitas yang berbeda dari rutinitas yang selama ini dijalaninya. Ada menu yang berbeda saat sarapan dan ada teman lain saat berangkat menuju tempat kerja. Ada jejak saudara di rumahnya. Jejak yang kembali berulang setelah ayahku berkunjung 20 tahun yang lalu, saat Mang Ihin meminang istrinya. 

Doa
Itulah sebulir pengalaman. Mencoba untuk berkomunikasi dengan orang yang baru kita kenal, bukan hal yang mudah. Terkadang dugaan kita yang mengerdilkan niatan itu. Betapa Pak Jejen dan Pak Ojang menampakkan riangnya ditegur dan disapa sebagaimana senangnya aku bisa menegur dan menyapa. Betapa Mang Ihin memperlihatkan rasa bahagianya manakala dikunjungi sebagaimana gembiranya aku karena akhirnya bisa berkunjung dan bersilturahim ke rumahnya. Tegur dan sapa menunjukkan bahwa kita bisa berteman. Berkunjung dan bersilaturahim menunjukkan bahwa kita bisa saling memberi, berbagi dan membangun harapan. Kemudian ujung dari itu semua adalah meluncur doa.