Kamis, 25 September 2014

Pulau Penyengat



Mendengar ungkapan bahwa belum lengkap datang ke Kepulauan Riau kalau belum singgah ke Pulau Penyengat, pada Ahad 7 September 2014, saya ditemani Kang Ery (Garut) dan Pa Asmen (Aceh) yang kebetulan bertugas sebagai Tenaga Ahli dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Provinsi Kepulauan Riau , berkesempatan untuk menjejakkan langkah di pulau tersebut. Berkendaraan angkot dengan tarif Rp. 4.000,  sekitar 15 menit kemudian, kami tiba di pintu gerbang menuju dermaga yang melayani penyeberangan ke Pulau Penyengat. Dermaga ini bersebelahan dengan pelabuhan Tanjung Pinang yang melayani penyeberangan ke Kota Batam. Pintu gerbang dermaga masih sederhana hanya berupa plang melintang di atas jalan dengan bangunan di kiri dan kanan. Jalan masuk menuju dermaga berbelok dan di dinding kiri terdapat beberapa mural.

Selanjutnya kami membayar biaya penyeberangan dengan tarif Rp. 6.000 per orang. Disebut ‘biaya penyeberangan’ dan tidak disebut dengan membeli ‘tiket penyeberangan’, karena saat itu kami tidak menerima tiket sebagai bukti kami membayar biaya penyeberangan. Menunggu sekitar 5 menit, seluruh penumpang langsung naik perahu bermotor atau yang lebih dikenal dengan sebutan pompong dan melaju menuju Pulau Penyengat.

Lima belas menit kemudian, kami tiba di pelantar dermaga Pulau Penyengat. Kami disambut dengan jajaran motor yang berbaris di sepanjang koridor/lorong dermaga dan beberapa kios kaki lima yang menjajakan makanan khas Tanjung Pinang. Berjalan 100 meter kemudian, kami sudah tiba di Masjid Raya Riau Pulau Penyengat. Mesjid berbalut warna kuning dan hijau itu, terbuat dari campuran putih telur, kapur, pasir dan tanah liat, tampak berdiri kokoh meski telah berusia ratusan tahun.  Masjid Raya Riau Pulau Penyengat dibangun tahun 1803 oleh Sultan Mahmud.

Selanjutnya kami mengunjungi Kantor Istana yang sedang dicat ulang. Kami juga mengunjungi Balai Adat dengan sumur yang airnya tidak asin padahal hanya berjarak beberapa meter dari laut. Kami pun menapaki  pelantar yang terdapat persis di depan Balai Adat. Pelantar dengan panjang  lebih dari 100 meter tersebut, menampilkan daya pikat tersendiri, seakan kita bisa terus menjejak ke arah laut.  

Selepas dari Balai Adat, kami mengunjungi beberapa makam, antara lain  Makam Raja Haji Fisabilillah (Yang Dipertuan Muda Riau IV, tahun 1725 - 17840, Pahlawan Nasional dan diabadikan namanya sebagai nama Bandara di Kota Tanjungpinang). Kemudian Makam Raja Ja’far (Yang Dipertuan Muda Riau VI, tahun 1805 – 1832), dan Raja Ali (Yang Dipertuan Muda Riau VII, tahun 1844 – 1857).  

Istirahat sejenak setelah Sholat Dhuhur, tour de Pulau Penyengat dilanjutkan dengan perjalanan menuju Benteng Bukit Kursi. Sebelum menaiki beberapa anak tangga, kami jumpai gudang mesiu dan kompleks makam lainnya. Mendaki jalan yang dipasangi bata, kami pun tiba di Benteng Bukit Kursi, benteng pertahanan yang dibangun menjelang terjadinya perang antara Kerajaan Riau dengan Belanda pada tahun 1782 - 1784.  Benteng tersebut dilengkapi meriam di tiap sudutnya. Betapa meriam-meriam tersebut disiapkan untuk menyambut datangnya kapal perang Belanda. Sejauh mata memandang, maka sejauh itulah moncong meriam diarahkan.

Sebelum kami mengakhiri kunjungan di Pulau Penyengat, kami mengunjungi sebuah bangunan yang unik, yaitu Perigi Putri. Bangunan tersebut merupakan tempat para putri kerajaan mencuci pakaian dan mandi. Perigi Putri tidak memiliki jendela dan lubang angin. Di dalamnya terdapat kolam dan tempat duduk untuk mencuci yang bentuknya menyerupai kursi panjang.

Mengelilingi Pulau Penyengat dengan beragam situsnya yang membuat takjub, di siang bolong dan tidak bertopi, terbuktilah bahwa pulau seluas 2 ha tersebut betul-betul menyengat. Dua botol air mineral, dirasakan masih kurang. Perlu waktu lebih dari 2 jam untuk berkeliling dan menikmati indahnya Pulau Penyengat. Berbeda dengan pengunjung lainnya yang menggunakan jasa ojeg dengan tarif sewa Rp. 30.000 untuk keliling selama 1 jam, kami memilih berkeliling dengan berjalan kaki.  Hasilnya? Kami tersengat dan takjub dengan ‘sejarah’ yang terdapat di Pulau Penyengat.

Tersengatnya kami di Pulau Penyengat, ternodai dengan beberapa hal yang tampak sepele dan kecil, tapi akan berdampak buruk terhadap kelestarian budaya yang ada. Di beberapa titik, kami perhatikan adanya bangunan berupa rumah dan kios yang tidak terawat. Bersebelahan dengan kompleks makam menuju Benteng Bukit Kursi, terdapat bangunan permanen yang telah dibongkar dan dibiarkan begitu saja. Sebuah pertanyaan layak diajukan, mengapa bangunan itu bisa berdiri dan kemudian dibongkar? Siapa yang membangun dan bagaimana perizinannya? Di sisi lain, dekat Perigi Putri, pembangunan beberapa rumah permanen lainnya bergeliat. Jalur air dari sumur pompa, pipanya menjalar, bersinggungan dan saling bersaing antara pemilik jaringan pipa yang satu dengan pemilik lainnya. Mencerminkan ke-aku-an pemiliknya dan bertolak belakang semangat ‘para leluhur’.

Di sisi lain, gedung 2 lantai sebagai pusat oleh-oleh, masih kosong belum terpakai. Sementara area lapangan beserta panggungnya yang berada di depan Masjid Raya, menjadi tempat favorit untuk istirahat para pengojeg dan arena bermain bagi anak-anak. Hampir di semua makam, tidak ada petugas khusus yang menyambut kedatangan pengunjung. Sementara pengemudi ojeg, melaju hilir mudik menyusuri setiap ruas jalan tanpa rute yang berurut dan teratur. Kondisi di Benteng Bukit Kursi, beberapa kios tidak terpakai dan telah mengalami kerusakan. Jalan setapak yang terbuat dari pasangan bata, di beberapa titik terlepas dan renggang.

Perlu kemauan yang kuat dan kebersamaan untuk menata Pulau Penyengat sebagai Jati Diri masyarakat Kepulauan Riau.  Hingga di kemudian hari, Pulau Penyengat menjadi magnet wisata di Kota Tanjung Pinang bahkan di Provinsi Kepulauan Riau. Pembenahan antara lain menyangkut pintu gerbang di area dermaga, pompong yang dapat tampil lebih menarik dan nyaman, optimalisasi area panggung dengan penampilan kesenian lokal minimal 1 kali dalam 1 bulan dengan ekspose dan promosi di berbagai media, moratorium dan lokalisasi rumah penduduk agar tidak merambah dan meluas ke berbagai wilayah di Pulau Penyengat dan diiringi dengan penataannya yang bersifat lokal dan berjati diri ‘Gurindam Dua Belas’.

Hal lainnya yaitu mempercantik tampilan ojeg dengan warna khas Pulau Penyengat, yaitu kuning dan hijau, pengaturan jam keberangkatan dan arus laju ojeg. Perlu ditata juga adalah jaringan pipa air dengan sentralisasi, pemasangan jaringan pipa bawah tanah dan pembuatan bak kontrol. Berikutnya penataan area Benteng Bukit Kursi, Peta Pulau Penyengat yang mulai tampak kusam, dan paling pokok, menumbuhkan jati diri para penduduknya bahwa mereka adalah pewaris dari budaya luhur Pulau Penyengat, sebuah pulau yang telah diajukan untuk menjadi Situs Warisan Dunia. Keterlibatan pihak swasta harus terus ditumbuhkan dan pemerintah bisa menggagasnya antara lain melalui Program Kampung Wisata Berbasis Komunitas. Pelibatan masyarakat setempat adalah mutlak untuk menjaga kelestarian Pulau Penyengat.