Rabu, 12 Maret 2014

Tol Cipularang


Fantastis
Melintasi Tol Cipularang pada penghujung tahun 2005 dengan menggunakan hijet  tua 1.000 cc keluaran tahun  1988, memunculkan rasa bangga terhadap capaian anak bangsa. Tol dengan panjang lebih dari 133 km dan bertarif Rp. 43.000 tersebut, membelah beberapa bukit dan perkebunan. Tol Cipularang memiliki beberapa jembatan kokoh yang membentang di antara dua lembah dengan  tiangnya yang menghunjam bumi. Di beberapa titik, bentangan jalannya memiliki tebing-tebing yang keras dan berbau magis. Perjalanan Bandung – Depok pada waktu itu, ternyata bisa dicapai selama 2,5 jam. Fantastis.

Beberapa waktu kemudian, tersadar bahwa munculnya tol yang menggunakan APBN sejumlah Rp. 2,4 triliun tersebut telah meredupkan pergerakan ekonomi di jalur lain , yaitu Bandung, Padalarang, Cianjur dan Bandung – Purwakarta. Selanjutnya tahun 2009, kereta api Argo Wilis yang melayani Bandung – Jakarta, dihentikan karena melorotnya jumlah penumpang.

Di sisi lain, Tol Cipularang terus melesat berkembang cepat. Median jalan yang awalnya berupa drainase dan taman, berganti dengan beton setinggi 1 meter. Lebarnya terus bertambah. Rest area terus tumbuh di kiri dan kanan jalan. Lampu penerang jalan semakin banyak dengan semangat go green, pemanfaatan tenaga surya. Tak mau ketinggalan, iklan rokok, parpol dan perumahan, menjejak di tol yang diresmikan SBY pada 12 Juli 2005 tersebut. Meniru gaya ‘Hollywood’.

Persoalan kemudian muncul manakala bentangan tol Jakarta – Bandung, menarik minat para pengusaha untuk membangun perumahan dengan konsep kota baru dan membangun kawasan industri. Bahkan hadir tempat pemukiman khusus, yaitu pemakaman dengan cita rasa berkelas. Hadirnya beberapa kawasan tersebut, semuanya merasa berhak untuk membuka, membelah dan melintang tol tersebut. Dampaknya, muncullah bottle neck di beberapa titik, antara lain akses keluar/menuju Cibitung dan Cikarang, manakala ribuan kendaraan keluar dari tol menuju kawasan tersebut atau sebaliknya. Persoalan lain yang sudah muncul sejak awal adalah labilnya tanah, terutama Tol Cipularang, antara lain di sepanjang km 90 – 100 yang telah berulang kali mengalami longsor dan di beberapa titik lainnya. 

Bahaya di Tol Cipularang
Saat ini, dibanding tahun 2005, perjalanan melalui Tol Cipularang, menjadi semakin lama. Kemudian perjalanan itu bisa menjadi sebuah penderitaan, manakala terjadi tanah longsor atau amblas. Jumat, 24 Januari 2013, pukul 16.10 WIB, persis keluar dari kostan di Bekasi Kaum kelurahan Bekasi Jaya kecamatan Bekasi Timur, mendapat kabar dari Bandung, bahwa terjadi tanah amblas di km 72 Tol Cipularang. Masuk Tol Bekasi Timur, sebelum masuk ke rest area km 57 pada pukul 17.29 WIB, mengalami kemacetan di sekitar Cibitung dan Cikarang. Perjalanan dilanjutkan dan akhirnya terjebak mulai km 62 hingga keluar gerbang Tol Cikampek pada pukul 23.30 WIB. Perjalanan untuk masuk Tol Sadang, mengalami kemacetan juga dan mesti ditempuh hampir 2 jam, pukul 01.25 WIB, baru bisa masuk Tol Sadang. Sejurus kemudian melesat dan keluar Tol Pasir Koja Bandung pada pukul 02.15 WIB dan sampai rumah pada pukul 02.40 WIB. Total perjalanan 10 jam. Perjalanan melelahkan dan mendebarkan.

Beberapa hal yang dicermati saat terjebak kemacetan di km 60 hingga masuk Tol Sadang, yaitu : tidak sigapnya pihak berwenang, pengelola tol atau polisi, dalam mengatur pengalihan arus kendaraan yang mau masuk Tol Cipularang kemudian dialihkan untuk keluar Tol Cikampek terlebih dahulu. Board teks yang terdapat di km 59, tidak menginformasikan pengalihan arus tersebut.

Demikian juga dengan marka jalan yang dipasang hanya 100 meter menjelang pemisahan arus. Hal lain yang juga perlu dikritisi adalah tidak pedulinya radio lokal dengan kejadian ini. Radio tersebut tetep anteng menghibur pendengarnya dengan musiknya yang asyik dan beberapa lagu memang enak didengar dan mendorong kaki, tangan dan kepala untuk bergerak mengikuti iramanya.
Selanjutnya di gerbang Tol Cikampek, petugasnya tidak sigap dengan tidak dikerahkannya tambahan personil, meski kemudian akhirnya gerbang tol dijadikan satu arus sebagai gerbang keluar untuk beberapa jam.

Kejadian tersebut  merupakan peringatan keras terhadap keberadaan Tol Cipularang. Selain sering tambal sulam karena banyak bagian jalan yang rusak dan berlubang, ditambah dengan beberapa tanjakan, turunan dan tikungan yang tajam, hembusan angin, longsoran tanah dan ilalang yang sering terbakar di musim kemarau, jika tidak diantisipasi, Tol Cipularang suatu saat tak akan berdaya menerima beban arus kendaraan yang setiap tahun terus bertambah.

Solusi
Mencermati perkembangan Tol Cipularang dan tol sambungannya, yaitu Tol Jakarta – Cikampek, dan kejadian yang terjadi di sepanjang ruas tol tersebut, kiranya bisa dimunculkan regulasi yang mengatur ganti rugi kepada para pengguna jalan dari pengelola tol apabila terjadi kemacetan yang luar biasa yang disebabkan tidak sigapnya pengelola tol seperti peristiwa 24 Januari 2013 lalu. Dalam dunia penerbangan, jika pesawat delay, maka maskapainya memberikan konpensasi pada penumpangnya. Selanjutnya dilakukan simulasi pengamanan dan penggunaan jalur alternatif lain jika kejadian serupa terulang di titik-titik rawan longsor sepanjang Tol Cipularang. Patroli dari pengelola, dishub dan kepolisian juga harus ditingkatkan.

Selanjutnya, moratorium pembukaan kawasan permukiman/industri di sepanjang tol yang menyebabkan pembentukan bottle neck baru. Pembukaan kawasan baru di sepanjang Bekasi – Cikampek, hendaknya mengoptimalkan pintu tol yang sudah ada. Sementara di sepanjang Cipularang, sebaiknya tidak dilakukan pembukaan kawasan baru. Agar hijau dan asrinya alam di kiri dan kanan Cipularang tetap terjaga. Wacana pembukaan kota baru di sekitar perkebunan Teh Walini, mesti ditolak. Kalau hal tersebut terjadi, menumpukkan penumbuhan kota baru hanya di bagian barat dan menapikan pengembangan kawasan di bagian selatan Jawa Barat.






Beban Tol Jakarta – Bandung, terutama Tol Cipularang dengan karakteristiknya yang unik, yang akan semakin berat, pengelolaannya harus dibarengi dengan optimalisasi sarana transportasi kereta api. Sebuah kebijakan aneh manakala di jalur lain, yaitu Bogor hingga Cianjur, kereta api dihidupkan kembali dan segera menyusul ke wilayah selatan dan timur lainnya di Jawa Barat, sementara kereta api Parahyangan malah dihentikan pada tahun 2010 dengan argumen ‘merugi’, kemudian malah dikomersialkan dengan munculnya kereta api Argo Gede. Saatnya kereta api dengan tarif ‘merakyat’, dihidupkan kembali di jalur tersebut sebagai penyeimbang dan sarana alternatif untuk mobilitas warga dari dan ke Bandung – Jakarta dan sekitarnya.

Sebaliknya dengan rencana pembangunan tol Ciawi – Padalarang, mesti diperhitungkan dengan matang. Pembangunannya jangan membuat perkonomian sepanjang jalan Ciawi, Puncak, Cianjur dan Padalarang, malah menjadi ‘mati beneran’, bukan ‘mati suri’. Langkah berikutnya, ‘blue print’ pengembangan tol di Jawa Barat, harus menjadi informasi yang terbuka untuk publik, bukan hanya menjadi konsumsi untuk kalangan tertentu, yaitu penguasa dan pengusaha.

Terakhir, kecil tapi tidak bisa dianggap sepele, pengelola tol harus mulai menggunakan instrumen SMS (jangan keukeuh hanya menerima laporan via telpon), media lokal (radio) dan media sosial (facebook/twitter) sebagai media untuk percepatan dalam penyampaian informasi terkini kepada masyarakat mengenai peristiwa yang terjadi di sepanjang tol.