Senin, 21 Maret 2016

Bisul



Sabtu, 26 desember 2015, di saat mengisi kegiatan pelatihan P2KKP di kantor kelurahan Cimincrang kecamatan Gede Bage, sang BISUL masih sebuah butiran kecil. Keberadaanya masih sebatas rasa sakit yang berpusat di betis kaki kiri. Langkah kaki mulai dari jalan Soekarno Hatta di gerbang Bumi Panyileukan hingga perbatasan kelurahan Cimincrang, masih terayun mantap. Hingga pelatihan usai di jarum jam angka 2, kemudian tiba di rumah menjelang adzan Ashar, kaki kiri masih seperti biasa. 

Minggu, 27 desember 2015, mengantar keluarga berlibur ke rumah orang tua di Desa Cikuya Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung. Perjalanan ditempuh dengan menyenangkan. Rencana mau naik kereta api, dibatalkan karena barang bawaan dan pergantian kendaraan umum, akan cukup merepotkan. Tiba di depan Gang Sukarame II, nyebrang jalan Ahmad Yani, kemudian naik angkot Dipati Ukur – Panghegar. Alhamdulillah sebuah bis Kobutri jurusan Cicaheum – Majalaya, sedang mangkal di depan toko alat olah raga. Ternyata sang supir sedang tidak berada di tempat. Sang kondukter berbaik hati, sebuah angkot jurusan Cicaheum – Cileunyi dimintanya untuk mengantarkan kami hingga ke tujuan. Jadilah angkot berpenumpang 6 orang itu, satu penumpang seorang kakek yang turun di seputaran Ranca Ekek, bergerak meluncur menuju Cileunyi. sesekali sang angkot menaikkan dan menurunkan penumpang. Namun lepas dari Ranca Ekek, pintu angkot ditutup dan hanya kami berlima yang menikmati perjalanan itu. Angkot itu berasa milik sendiri. Alfiyah, Alifah dan Tsaqib, bisa duduk sambil tiduran. Menerabas Parakan Muncang, kemudian berbelok di Warung Peuteuy, melintasi rel stasiun Cicalengka, kemudian tibalah kami di rumah dengan dinding bercat ungu.. Ongkos yang diberikan sesuai tarif umum, kena Rp. 12 ribu rupiah/orang, yaitu 7 ribu untuk jarak Cicaheum -  Cileunyi dan 5 ribu untuk Cileunyi – Warung Peuteuy nyambung ke Cikuya. Total Rp. 60 ribu untuk berlima. 

Lepas sholat ashar, saya pamit. Diantar Husni, adik ipar, kami menuju stasiun KA Cicalengka. Jadwal  yang bisa diakses adalah keberangkatan pada pukul 17.05 WIB. Berarti harus menunggu selama 1 jam setengah. Berdiri di loby stasiun, berkali-kali melihat beberapa jadwal keberangkatan KA, baik yang jarak dekat maupun jarak jauh. KA ekonomi, bisnis dan eksekutif. Ya, ada keinginan untuk naik KA bersama keluarga, liburan ke Surabaya atau Jogja. Sekalian napak tilas ke Purwokerto. Kota kecil yang menorehkan sebuah pengabdian dalam pelaksanaan P2KP pada tahun 2002 hingga 2004. Di kelurahan Rejasari kecamatan Purwokerto Barat, kami pernah tinggal kurang lebih 4 bulan dari Desember 2003 hingga April 2004. Waktu itu, baru punya anak 1, yaitu Alfiyah Nur Azizah. Di Rejasari, Alfiyah berhasil belajar berjalan. Di halaman belakang, suatu ketika hujan turun, saya ajak Alfiyah hujan-hujanan. Di halaman belakang, Alfiyah mengenal siput, cacing, kaki seribu, dan fauna lainnya.

Eiiiit, kepanjangan.....pukul 16.30 WIB, loket dibuka. Antrian mulai berkurang. Selanjutnya penumpang beringsut masuk ke area ruang tunggu, area yang dibatasi dengan pagar besi. Sebuah jurus ampuh untuk menertibkan penumpang yang akan menaiki KA agar tidak berbenturan dengan penumpang yang turun dari KA. Pintu pagar besi baru dibuka, apabila semua penumpang telah meninggalkan stasiun. Maka berpaculah calon penumpang memburu 7 gerbong yang akan membawanya ke Bandung atau Padalarang. 

Pukul 17.50 WIB, saya turun di staisun Kiaracondong. Saku kecil di bagian depan saku kanan, menyimpan 2 buah uang logam bernilai 500 rupiah dan 1 lembar kertas bergambar Fattimura. Sementara di saku belakang, tersimpan 1 lembar uang pecahan 50 ribu. Minimal perlu 3 ribu untuk naik angkot dari fly over Kiaracondong hingga perempatan Antapani. Jika menggunakan uang pecahan 50 ribu, supir angkot mungkin tidak ada kembalian. Mau nuker uang yang 50 ribu, kayaknya ribet. Kemungkinan tertolak dengan berbagai alasan. Tiba di bawah fly over, diselidik beberapa toko, kayaknya ga ada yang pas buat transaksi tukar uang meskipun didahului pembelian. Bergerak ke utara menuju SPBU, terlihat di tangan kiri petugasnya, tergenggam lembaran uang dengan beberapa nominal. Tapi sungkan untuk mendekat dan menghampirinya. 

Akhirnya, kedua kaki ini melangkah membawa badan, berjalan menelusuri trotoar. Lima belas menit sebelum adzan Isya, alhamdulillah tiba di rumah orang tua yang berdekatan dengan kampus BSI Antapani. Makan, ambil kunci, berikutnya menuju rumah yang berjarak sekitar 100 meter dari rumah orang tua. Sekujur badan penuh keringat. BISUL di hari minggu itu, sepertinya sedang gerilya. Gerakannya makin lincah, dipicu oleh pori-pori kulit yang sedang terbuka karena berkeringat. Sepertinya kuman dan bakteri pun ikut berpesta beserta kotor yang menyertainya.

Senin, 28 desember 2015, BISUL di betis kiri, menampakkan polahnya. Sesekali jalannya kaki kiri agak lumayan sakit. Sang BISUL sudah lebih besar dari penampakannya di hari sabtu itu. Kegiatan pelatihan di aula kantor Camat Ujung Berung, alhamdulillah dapat dituntaskan. Selepas pamit pada Tim Faskel dan Askot, tujuan berikutnya adalah Masjid Raya Ujung Berung untuk menunaikan sholat Dhuhur. Baru teringat, sholat Dhuhur di Masjid Raya Ujung Berung itu, tasahud akhirnya tidak tertunaikan dengan sempurna. Duduknya tegak, menghindari betis kiri tertindih kaki dan badan secara keseluruhan. 

Selasa, 29 desember 2015, kegiatan pelatihan di Cigondewah Kaler, dijalani dengan teramat berat. Kaki kiri semakin berbobot. Langkah sedikit tertatih selama perjalanan dari rumah menuju halte Damri di depan BCA Ahmad Yani. Bis yang dinaiki, kursinya terisi semua. Berdiri di bagian belakang, kaki kanan mencoba menyeimbangkan kaki kiri yang tidak terlalu menjejak lantai bis. Kaki kanan mencoba berdiri sendiri menyangga kaki kiri. Turun di bunderan Cibeureum, kemudian melangkah menuju Gang Cibuntu untuk berjumpa dengan Duny, faskel MK Tim 17 Kota Bandung. Bertegur sapa tentang kesehatan, berikutnya motor supra fit bergerak membawa kami menuju SDN III Cigondewah Kaler. 

Jalan berliku membuka gambaran khas daerah Cigondewah yang dikenal sebagai pusat perdagangan berbagai kain. Setelah melintasi jembatan di atas Tol Pasir Koja, di kanan dan kiri jalan, berjajar toko kain. Mulai dari toko kain yang kecil dan sederhana, hingga toko kain yang besar dengan area parkir yang memadai. Selepas pasar Cigondewah, kami masuk dalam sebuah gang. Lurus, belok kiri, mentok, ke kanan sedikit, akhirnya tiba di sekolah SDN III Cgondewah Kaler III. Pelatihan kemudian terlaksana hingga pukul 12 WIB. Di sebuah mushola kecil, sholat dhuhur tertunaikan. Kembali terulang, duduk tasahud tidak terlaksana dengan maksimal karena adanya BISUL di betis kiri. Menunggu di luar kelas hingga pelatihan selesai, berjalan ke toilet sekolah, berjalan dari kursi di bagian belakang menuju pintu keluar bis Damri, dan berjalan dari depan gang menuju rumah, semuanya dilakoni dengan langkah yang lambat dan sedikit tertatih-tatih. Sang BISUL makin menguatkan jaringannnya. Menelisik. Menjalar. Mewabah. Area di lingkaran BISUL menjadi merah memerah.

Rabu, 30 Desember 2015, selepas subuh, sarapan nasi goreng di rumah orang tua. Pada pukul 07.05 WIB, bersama Travel Baraya berangkat menuju Jakarta. Suatu anugrah bisa turun di depan jalan Bendungan Hilir. Biasanya armada Baraya Full Sarinah, melintasi daerah Kuningan, tidak masuk ke jalan Sudirman. Keluar dari mobil, langsung disambung dengan ojeg menuju jalan Danau Trusnan, Kantor KME. Tiba sekitar jam 10, masih dapat ditunaikan sholat Dhuha. Berikutnya mengikuti kegiatan rapat dan diskusi dengan pokok bahasan hasil kajian BDC, Survai Impact PPMK dan KMS (Keuangan Mikro Syariah). Dilanjutkan dengan bahasan secara singkat tentang rencana kajian Federasi UPK. Pukul 4 sore, pamit kepada TL dan beberapa TA. Tak lain karena BISUL terus berulah. TL menyarankan untuk menggunakan salep hitam. 

Pulang kembali ke Bandung bersama Travel Baraya, dijalani dengan melipat celana jeans kaki kiri hingga di atas lutut. Rasanya jadi lebih enak. Meski cenud cenud, sakit luar biasa. Wow, sang BISUL makin besar. Tampak lingkaran merah di sekelilingnya. Lingkaran merah yang mengeras. Sementara di bawah mata kaki, kaki membengkak. Rupanya, perjalanan Jakarta – Bandung, ditambah ulah sang BISUL, menyebabkan kaki membesar. Hingga Rabu itu, BISUL baru diberi tindakan dengan memberikan obat oles herbal.  

Kamis, 31 Desember 2015, seharian di rumah. Obat BISUL berupa salep hitam, menjadi teman, menggantikan obat salep sebelumnya. Salep hitam dioleskan di sekeliling BISUL. Siangnya, Ibuku datang membawa nasi dengan lauk sambal goreng kentang dan ikan. Pada malamnya, BISUL diberi tindakan. Dipijit di kedua sisinya dengan jempol dan telunjuk. Hancur. Kemudian dilibas air hangat. Sedikit lega. Tapi beberapa saat kemudian, badan jadi terasa panas dingin. Rupanya BISUL itu memberikan perlawanan hebat. Di tengah letupan petasan dan kembang api menyambut pergantian tahun baru, tidur makin tak nyenyak. Di luar bising, sementara di kaki ada shooting.

Jumat, 1 Januari 2016, beberapa saat sebelum mandi mengguyur badan, sang BISUL dibersihkan dari salep hitam dengan luncuran air hangat. Empat jari kembali memijit. Hasilnya nihil. Sang BISUL tetap kuat. Jam 2 siang, ibu datang membawa nasi dengan lauk sayur urab. Beberapa saat selepas Ashar, keluarga tiba di rumah. Alfiyah, Alifah dan Tsaqib, begitu masuk rumah, kompak ingin melihat kaki ayahnya yang sejatinya ingin melihat BISUL. Berikutnya masuk sang istri, Mamah dan keluarga Heru. Meluncurlah cerita bahwa tukang sayur yang menjadi langganan di komplek rumahnya, di Depok, sedang punya problem yang sama, BISUL di lengan kanan. 

Sabtu, 2 Januari 2016, sang BISUL di siang diberi perlakuan untuk dipecahkan oleh ibunya anak-anak. Tapi malah sakit luar biasa dampaknya. Problem juga dialami Tsaqib, sebuah gunting oleh-oleh dari Singapura, yang tergeletak di atas bantal, tanpa babibu, menusuk telapak kaki kanannya. Tangisan diiringi jeritan, langsung membahana. Ada saja musibah yang dialami si bungsu, sebelumnya, jempol kanannya pernah tertusuk jarum, sementara kaki kirinya pernah terlindas sepeda motor. 

Ahad – Selasa, 3 – 5 Januari 2016, daun iyen-iyen mengitari BISUL. Pengaruhnya cukup baik. Area merah di sekeliling BISUL semakin berkurang. Sementara pada Rabu dan Kamis, 6 – 7 Januari 2016, parutan kentang menggantikan tugas daun Iyen-iyen yang memang sudah habis. Jika daun iyen-iyen ada rasa panas yang mengirinya, sementara parutan kentang, ada rasa dingin dan lebih adem. Area merah terus mengecil. Tapi sang BISUL masih terlalu kuat untuk dipecahkan. Tampilan BISUL tampak hitam dan keras. Mata BISUL ntah di bagian mana. 

Jumat, 8 Januari 2016, selain BISUL, gatal-gatal mulai datang menyerang. Awalnya di area lipatan kaki, jari dan paha. Kemudian merambah ke area pinggang dan perut. Mandi dengan air hangat, kemudian ditaburi bedak NIK NAK, rasanya adem. BISUL dibiarkan saja. Bagian tengahnya yang hitam dan keras. Meski demikian, rasa panas dan dingin masih sering muncul. Mungkin terjadi persekongkolan antara BISUL dan gatal-gatal yang terus menggedor pertahanan tubuh.

Sabtu, 9 Januari 2016, BISUL dan gatal-gatal memberikan warna lain dalam rangka silaturahim ke Depok untuk menghadiri acara Tasyakur Khitanan Idlan Rafansya Mataburu, anak kedua dari Iyam (Saudara Kandung) dan Ilham yang akan dilaksanakan pada 10 Januari 2016.  Ulah sang BISUL sesekali mengeluarkan cairan kuning bercampur dengan darah. Tissue yang selalu tersedia, sigap dan siap untuk menyekanya. Tidak ada tindakan lain pada sang BISUL. Sementara jamur/bakteri/kuman bergerilya terus menebar rasa gatal. Tablet kecil berwarna putih, Recitizine, menggantikan obat CTM yang belum dikonsumsi untuk mengurangi rasa sakit gatal-gatal tersebut. Rupanya Bi Dede, adik dari Kakeknya Alfiyah, juga mengalami sakit gatal-gatal. Apakah sedang mewabah penyakit gatal-gatal? Apakah perubahan musim dari kemarau ke hujan turut memicu munculnya alergi?

Ahad, 10 Januari 2016, acara tasyakur khitan digelar di gedung serba guna Masjid Al-Hidayah Beji. Acara diikuti dengan menahan rasa sakit di kaki kiri. Ketika melangkah, sering terjadi gesekan antara BISUL dengan celana. Gesekan itu menimbulkan rasa sakit lumayan. Untuk mengurangi terjadinya gesekan, solusi ditempuh dengan cara lebih banyak melakukan aktivitas duduk daripada berdiri dan berjalan. Duduk di area yang berdekatan dengan panggung yang dikuasi Tim Nasyid Senandung Madani dari Cicelangka Kabupaten Bandung. Di beberapa jeda, celana di kaki kiri dilipat hingga di atas lutut, menghindari celana mengganggu kedaulatan BISUL. 

Pukul 2 siang lebih, kami pamit untuk pulang. Sementara Kakek dan Nenek Alfiyah lanjut hingga acara selesai. Sambil mengenakan celana HAWAI/pendek, perjalanan pulang diselingi dengan mempermainkan luka kering BISUL yang sepertinya mau terlepas. Tersisa sedikit bagian yang masih menempel kuat. Tapi bagian sedikit itulah yang bisa menimbulkan rasa sakit terbesar. Sebelumnya ada keinginan agar luka yang mengering tersebut bisa terlepas di rumah untuk mendapat tindakan lebih baik. 

Kami berhenti sejenak di rest area KM 39 untuk menunaikan Sholat Ashar. Diambillah celana panjang hitam yang sebelumnya dipakai waktu acara di Depok. Sambil agak berdiri, celana itu mulai dipakai. Pertama di kaki kanan. Kemudian dipasangkan ke kaki kiri. Belum tuntas seluruh bagian celana menutupi kaki kiri, apa yang dibayangkan menjadi kenyataan. Celana menggesek bagian luka di BISUL. Teriakan yang terkekang keluar secara spontan. Celana itu diturunkan kembali. Ajaib, bagian luka itu telah lepas. Tampaklah sebuah luka dengan diameter 2 cm dan kedalaman 2 mm. Di beberapa bagian tampak lubang-lubang dengan ukuran kecil. Mungkin lubang kecil itu bagian dari intisari/mata BISUL. Darahpun menggeliat meski tidak deras.
Celana panjang kembali dikenakan. Lancar jaya menutupi kedua kaki. kemudian melangkah mantap menuju masjid untuk menunaikan sholat Ashar, meski sesekali merintih menahan rasa sakit.