Siapa sangka sebagai “peserta gelap”, tetapi menemukan banyak manfaat
dari gelaran acara FGD Tentang Pedoman Umum Percepatan Penciptaan Wirausaha
Baru di Kota Bandung. Dilaksanakan di sebuah Hotel berbintang 4, dihadiri
perwakilan berbagai dinas/badan di lingkungan pemkot, praktisi wirausaha,
perguruan tinggi, diselingi sajian makanan ringan dan tawaran minuman kopi/teh,
acara FGD yang berlangsung pada 26 Agustus 2015 itu, ditingkahi pertanyaan dari
beberapa peserta.
FGD diawali dengan paparan oleh Ferry,
Fakultas Ekonomi Unpad, HP 0811239747, yang menyampaikan bahwa Target 100.000 wirausaha baru adalah tanggung
jawab bersama yang akan memberikan dampak terhadap peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Bandung dikenal sebagai kota yang memiliki banyak inovator dan sebagai
cikal bakal ekonomi kreatif di Indonesia. Tumbuhnya wirausaha baru, mesti disertai
iklim usaha yang mendukung dan mekanisme pasar yang tidak saling merugikan. Harus
ada kolaborasi agen pembangunan antara pemkot dengan masyarakat dan swasta,
dengan kota/kabupaten dalam 1 provinsi, dengan provinsi, dengan kota/kab lain
provinsi, dengan pusat, dan dengan luar negeri. Hal yang mesti ditanggulangi
adalah, jangan sampai wirausaha baru mencari modal dari rentenir. Percepatan
Pencitaan Wirausaha Baru mengupayakan peran pemerintah yang dapat mengendalikan
pasar sektor informal agar ada keseimbangan dan keterpenuhan antara demand (distribusi pendapatan,
kemiskinan dan harga) dan supply
(penggangguran, gaji/upah, dan keinginan membuka usaha). Keberadaan PKL di kota
Bandung demikian menggurita, ada di pertokoan, pasar, pusat perbelanjaan
modern/mall, Rumah Sakit, pusat pendidikan, perumahan/permukiman, Sarana Olah
Raga, bahkan hingga sekitar lokasi ibadah.
Paparan berikutnya disampaikan oleh
Fajar dari Bappeda.
Disampaikannya tentang pemetaan Kota Bandung, latar belakang disusunnya Perwal,
ketidakseimbangan penyerapan tenaga kerja, target dan tujuan, serta kegiatan yang direncanakan dan
penanggung jawab teknis dalam percepatan penciptaan wirausaha baru.
Paparan yang cukup ‘renyah’ dan disampaikan penuh gairah adalah materi
dari Kukuh Indrapasena, mewakili Young
Enterepreneur Academy (YEA), Website : yea-indonesia.com. YEA
perintisannya dilaksanakan di Batam pada tahun 2007, kemudian dialihkan di
Jakarta pada tahun 2009 dan selanjutnya ditetapkan pusat kegiatannya di Bandung
pada tahun 2010. YEA fokus pada pencitaan wirausaha baru. Hambatan dalam
penumbuhan wirausaha baru berkaitan dengan pengetahuan, teknologi, akses pasar,
regulasi dan permodalan.
Kang Kukuh menyampaikan beberapa program yang telah dilaksanakan YEA, yaitu YEA Virtual, layanan
pembelajaran jarak jauh, 2.000 peserta belajar aktif, YEA Capital, berbasis syariah,
pitching, rembug, TJ bersama, bussines plan sederhana, YEA Xpro, pelayanan
rintisan usaha bagi pensiunan dan yang terkena PHK, YEA Reguler , pembinaan
pemuda untuk berwirausaha, 90% jadi wirausaha, usia 17-35 th, YEA
Comdev, pembinaan lanjutan bagi pemuda untuk berwirausaha, YEA
ecamP , pembinaan di berbagai daerah dan LN, 4.000 alumni tersebar di
Indonesia dan YEA yukbisnis.com : layanan usaha medsos, 53.000 anggota. Toko
online GRATIS.
Renyahnya materi dilanjutkan oleh Jaya
Setiabudi, YEA, HP. 0819818919. Diawali dengan sebuah prinsip yang
dijalaninya bahwa mendidik anak dengan tidak mewariskan harta dalam jumlah
banyak, melainkan secukupnya dan dengan mendorong kemandirian sang anak. Mas
Jaya menyebutkan bahwa Program YEA
berketetapan untuk Anti kapitalis, anak-anaknya sekolah formal hanya hingga SD,
dilanjutkan dengan Home Schooling.
Dalam menjalankan usaha, disampaikan agar berpedoman pada “Bagilah keuntunganmu
pada orang lain”, “Ambillah jatah ‘sejahteramu’, jangan serakah!!!”. Jika sudah
tergambar ada keuntungan, jangan lantas berkeinginan untuk menguasai suatu
produk dari hulu ke hilir. Umpama seorang pengusaha keripik pisang. Dia berjualan
secara online. Keripik pisang yang sudah jadi, dibelinya dari ibu-ibu rumah
tangga. Kemudian diberi kemasan yang menarik. Upaya berbagi keuntungan adalah
mendekatkan petani pisang ke tempat produksi kepada ibu-ibu yang membuat kripik
pisang, sehingga petani terhindar dari tengkulak yang membeli hasil panen
pisangnya dengan harga rendah. Jangan
serakah dengan cara membeli langsung ke petani, mengolah/membuat sendiri
keripik pisang sehingga ibu-ibu tadi kehilangan/berkurang penghasilannya,
mengemas sendiri sehingga di sisi lain pengusaha kemasan kekurangan order,
kemudian menjualnya sendiri karena ingin laba yang lebih besar. Cara berbagi
keuntungan lainnya adalah dengan menumbuhkan reseller baru sebelum produk sampai ke konsumen. Jangan Serakah !!!