Ikatan persaudaraan bisa
terbangun dengan berbagai corak dan warna. Persaudaraan yang tumbuh berdasarkan
agaman, suku, daerah, tempat pendidikan, pekerjaan, dll. Persaudaraan yang
semakin berkembang dengan berbagai output yang positif, tidak dapat dipandang
sebelah mata dan sama sekali tidak ada. Sementara di sisi lain, persaudaraan
yang memunculkan output negatif pun, tak dipungkiri bukannya tidak ada. Adalah
sebuah harapan, persaudaraan yang ada merupakan pilihan dengan kesadaran untuk
saling mengisi dan berbagi membangun negeri.
Merantau begitu tamat SMK (setara
SMA), diambil sebagai keputusan yang sangat berani. Tidak tanggung-tanggung,
merantau jauh ke Indonesia bagian tengah. Menempuh perjalanan panjang selama 1 minggu dari barat menuju sebuah harapan
di tanah orang, di bagian lain
NKRI. Sebuah tekad disematkan mendalam di hati sanubari, bisa dapat
pekerjaan di pulau berbentuk huruf K.
Kala senja di penghujung
reformasi, tahun 1998, sebuah kapal berlabuh di kota di bagian tengah Indonesia. Seorang penumpang
remaja tanggung berperawakan kecil, penuh semangat menuruni tangga menginjak
dermaga. Bertanya kepada beberapa orang, diketahui bahwa menuju pusat kota
dengan lama perjalanan sekitar 1,5 jam, memerlukan ongkos sejumlah Rp. 15.000, sementara
dompet lusuhnya, menyisakan lembaran uang sejumlah Rp. 10.000.
Adu tawar dilakukan dengan
seorang sopir angkot yang sedang mencari penumpang. Sopir angkot bersedia
menerima ongkos dengan uang yang tersisa. Tas pun langsung disimpan di dalam
angkot. Sang sopir sibuk kembali mencari penumpang lainnya untuk menggunakan
jasanya. Teriakannya diarahkan kepada penumpang yang sedang berduyun-duyun menuruni
anak tangga dari kapal.
Asyik mengamati berbagai tingkah
dan kejadian yang ada di hadapannya, sekilat kemudian datang menghampiri
seorang lelaki berperawakan tinggi. Seorang sopir yang mau menjemput
majikannya. Ditanyanya tentang kapal yang sedang berlabuh. Kemudian ditanyanya
daerah asal, mau apa, mau ketemu siapa, hingga akhirnya berujung dengan
penggunaan bahasa yang sama, karena
berasal dari daerah yang sama.
Buahnya, batal naik angkot.
Beralih ke mobil dengan sopir tadi dan bersama majikannya. Bahkan, remaja tersebut bermukim dan sekaligus
bekerja di majikan yang kemudian dipanggilnya Om itu. Bekerja di sebuah rumah
makan.
Beranjak dengan tugas di bagian belakang,
sebulan kemudian maju ke bagian depan sebagai pramusaji yang membawakan makanan
dan minuman untuk pada pengunjung. Dari sekian pengunjung yang umumnya juga
orang yang memiliki selera
yang sama, ada pengusaha bengkel yang mengajak untuk bekerja di
bengkelnya. Tawaran itu diterimanya karena sesuai dengan pendidikan yang pernah
dienyamnya, yaitu SMK jurusan otomotif. Setelah mendapat izin dari Om Rumah Makan,
tempat berlabuhnya kemudian pindah ke Om Bengkel.
Bekerja penuh hati menjadi
montir, memunculkan sebuah tawaran dari Om Bengkel pada dirinya untuk kuliah di
sebuah universitas negeri di kota tersebut. Tawaran itu dijalaninya dengan
mengikuti seleksi dan akhirnya diterima di Fakultas Pertanian Jurusan
Peternakan. Maka kesehariannya dijalani dengan lebih beragam. Pagi kuliah,
siang dan sore membengkel. Kadang sebaliknya, pagi di bengkel, siang dan sore
di kampus. Perjalanan ke kampus, diantar oleh angkot milik Om Bengkel. Sekali
dua kali, peran berganti. Ada sopir angkot yang berhenti. Kerja di bengkel
dihentikan, berubah menjadi sopir angkot. Jika kuliah, jadilah angkot itu pun
mangkal di kampus.
Suatu waktu, berjumpalah dengan
seorang pengusaha yang sedang melakukan pengembangan di Kota kecil tersebut. Berawal dari antar
jemput dari dan ke hotel, diselingi diskusi kecil, pengusaha tadi rupanya
tertarik dengan berbagai solusi yang dianjurkan oleh pemuda itu untuk mengatasi
persoalan yang dihadapi perusahaannya. Dimintanya untuk menjadi kepala perwakilan di Kota itu. Kemudian direkrutlah
karyawannya. Di luar dugaan, perusahaan itu maju dan berkembang cukup pesat. Usaha
lain pun diraihnya. Masuk ke usaha pengolahan hasil bumi. Mendadak gaya hidupnya berubah drastis.
Menjadi pemuda yang berjaya di tanah rantau. Rumah, mobil dan motor, bisa
dibelinya. Lima kawan kuliahnya, ditampung di rumahnya. Kebutuhannya,
dipenuhinya. Mulai dari biaya makan, kuliah, hingga kehidupan malam di setiap
pekan.
Keadaan yang sedemikian, tidak
lantas melupakan diri dari tekadnya untuk menuntaskan kuliahnya. Jelang ujian
akhir di penghujung tahun 2002,
usahanya dipercayakan pada karyawannya untuk dikendalikan selama kurang lebih 2
minggu. Sementara dirinya fokus pada kuliah. Apa disangka, semua di luar
dugaan. Semua kembali ke titik NOL. Bahkan jungkir balik menjadi minus.
Karyawan yang diberinya kepercayaan, melakukan berbagai penyimpangan. Habis
semuanya. Menjadi gembel di jalanan kota, sempat dijalaninya. Hingga akhirnya,
dia berlabuh kembali ke Om Bengkel.
Menjadi sopir angkot lagi dan
penuh semangat menuntaskan kuliah, tersisa ujian praktek, penelitian,
penyusunan skripsi, sidang dan wisuda. Ujian praktek dan penelitian menjadi
kendala berat yang dihadapinya. Dua hal dengan biaya yang cukup besar. Tapi
nikmat selalu datang menghampirinya. Ujian praktek dan penelitian secara tidak
langsung dibiayai oleh dosennya yang sedang menempuh pendidikan S-3. Dosen
perempuan dari Bali itu, seolah menjadi perahu yang membawanya berlayar ke
pulau harapan. Diceritakannya bahwa dia seorang perantau, hidup di kontrakan, jadi sopir angkot, punya
anak dua, tapi bertekad jadi SARJANA. Bahkan permintaan agar dosen
pembimbingnya adalah Dosen A, B dan C, dikabulkan oleh Dosen tersebut.
Kuliah dijalaninya 24
SKS/semester dengan 6 – 7
mata kuliah. Menurut pandangan teman-temannya, hal tersebut terlalu banyak.
Apalagi dirinya jarang masuk karena narik angkot atau sibuk di bengkel. Tapi
prinsinya dibenarkan. Jika dia ambil 5 mata kuliah, sementara yang lulus 3
kuliah, maka rugi yang dialaminya. Jadi lebih baik diambil 7 mata kuliah, kemudian
hasilnya 5 mata kuliah dinyatakan lulus, meskipun akhirnya harus mengulang 2
mata kuliah.
Teman-teman di kampus cukup
banyak membantunya. Bahkan mereka pun sempat mendeportasi seorang dosen KILLER.
Dosen yang sering mengumpat dan marah-marah. Keputusan pun diambil. Tidak boleh
berkepanjangan. Harus ada tindakan. Semua mahasiswa 1 kelas, sepakat membawa
badik. Ketika dosen itu masuk kelas, kemudian menanyakan tugas yang harus
dilaksanakan oleh mereka, dan ditanggapi bahwa tugasnya belum selesai, seketika
amarah dan umpatan itu muncul. Maka seketika itu pula, Pemuda tersebut maju dengan mengacungkan badik.
Meletakkan badiknya di meja. Sementara mahasiswa lainnya, mengacungkan badiknya
masing-masing. Sang dosen langsung pucat. Terdiam. Sebentar kemudian,
ditinggalkannya kelas itu. Beberapa waktu berganti, sang dosen dimutasi ke
tempat lain. Sementara dirinya mendapat skorsing 2 minggu.
Memasuki akhir kuliah, penyusunan
skripsi ditempuhnya dengan cepat. Skripsinya langsung disusun secara lengkap
dari bab awal hingga bab akhir. Konsultasi dengan pembimbing pun, draft
skripsinya dibawa lengkap tidak diajukan per bab. Taktik jitu dijalankan. Koreksi dari pembimbing satu, tidak lantas
diperbaiki, tapi langsung disampaikan pada pembimbing dua dan tiga. Setelah
dilakukan perbaikan dan konsultasi ulang, ketika ada koreksi dari pembimbing
satu, disampaikannya bahwa hal tersebut sudah sesuai dengan arahan pembimbing
dua. Demikian seterusnya dia berkilah.
Skripsipun, akhirnya jadi dengan
koreksi yang minim. Persidanganpun dijalaninya dengan meriah. Selepas sidang, semua
dosen disuguhkan dengan
makanan khas daerahnya. Keluar dari ruang sidang, ketawa riang yang
ditampakkan. Tidak seperti mahasiswa lain yang umumnya tampak pucat dan lemes.
Nilai B didapatnya. Hingga akumulatif IPK nya adalah, 2,97. Hmmmm....kurang 0,3 untuk bisa dapat nilai 3.
Biarlah....terpenting kuliah kagak nanggung.
Selepas wisuda, permasalahan
berikutnya muncul. Mahasiswi lokal ada yang menyukainya. Sejatinya tidak ada
hubungan resmi hingga dinyatakan dengan status kekinian, yaitu PACAR. Tapi sang
mahasiswi menyatakan bahwa dia adalah pacarnya. Hingga orang tuanya berupaya
keras untuk meminangnya menjadi menantu. Diajaknya dia untuk meninjau sepetak
tanah kosong. Dimintanya pertimbangan darinya untuk tata letak dan arah
bangunannya, perkiraan jumlah kamarnya, hingga kebutuhan biayanya.
Sebatas teman dan tidak ada maksud
untuk berjoodoh, sebuah upaya dijalaninya. Dalam sebuah pertemuan dengan sang
mahasiswi, dia sengaja menenggak miras yang dicampur minuman berkarbonasi. Bertujuan agar dirinya
mendapat penilaian buruk. Tapi karena tidak ada niat jahat, maka yang terjadi
malah sebaliknya. Sang mahasiswi tetap berpengharapan. Diyakininya bahwa kelak ABANGDA adalah panutan yang penuh dengan
keshalehan. Alamaaaaakkkkk. Cinta sudah berlabuh kuat di hatinya.
Hingga di hari yang lain, nikmat
itu senantiasa bersamanya. Ketika mengantar penumpang ke pelabuhan, promosi
tiket kapal laut menuju
Tanjung Priok, memikat hatinya. Harga semula Rp. 700 ribu, dapat dibelinya
setengah harga. Jadilah di suatu pagi, dia berpamit pada Om Bengkel dan Om RM serta teman terdekat.
Ungkapan terima kasih, dihaturkan sebanyak desahan nafas dan peluh keringat
yang dijalani bersama mereka. Argumennya bahwa sebagai anak sulung dari 5
bersaudara, sudah menjadi garis untuk tetap tinggal di kampung halaman.
Seminggu kemudian tiba di Tanjung
Priok, dikontaknya sang mahasiswi. Berpamitan secara baik-baik. Bahwa jodoh
tidak bisa berpadu di antara keduanya. Pahit dirasa, moga tidak lantas
mematahkan ikatan persaudaran yang telah terjalin.
Kerasnya perjalanan Pemuda yang
sekarang bertugas dalam sebuah program pemberdayaan, terurai sejak menempuh
pendidikan di tingkat SD. Sambil
mengumpulkan barang bekas (rongsokan), ijazah SD dan SMP direngkuhnya. Teman
sekolah bertambah, kegiatan ‘pemulung’ ditinggalkan saat dirinya masuk SMK. Ada
rasa malu. Dia pun beralih menjadi kernet mobil colt diesel yang mengangkut berbagai sayuran ke berbagai
kota/kabupaten lain. Dalam satu minggu, hanya 2-3 hari masuk sekolah. Beberapa
kali Guru BP memanggilnya. Saking saringnya, di ruangan BP hanya disuruh duduk
berdiam diri. Tidak diceramahi lagi karena permasalahan selalu berkaitan dengan
keharusan mencari uang dengan menjadi kernet agar bisa membiayai sekolahnya.
Bahkan kuliahpun, dibiayai sendiri. Hingga dirinya bisa menjadi SARJANA.
Hidup yang keras dan penuh tantangan bukanlah sebuah
musibah atau nasib buruk. Pembentukan karakter terjadi secara alami seiring berbagai peristiwa
yang terjadi di dalamnya hingga menjadi seorang DEWASA. Karakter yang siap dan teruji dalam menjalani kehidupan pribadinya dan dunia kerjanya. Karakter yang dapat menerima arti sebuah pertemanan dan
kebersamaan untuk saling berbagi dan mengisi, bukan semata meraih sukses,
melainkan SUKSES BERSAMA.
(1 Juni 2016, hujan deras meningkahi jalanan kota).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar