Sabtu, 26 desember 2015, di saat mengisi kegiatan pelatihan
P2KKP di kantor kelurahan Cimincrang kecamatan Gede Bage, sang BISUL masih
sebuah butiran kecil. Keberadaanya masih sebatas rasa sakit yang berpusat di
betis kaki kiri. Langkah kaki mulai dari jalan Soekarno Hatta di gerbang Bumi
Panyileukan hingga perbatasan kelurahan Cimincrang, masih terayun mantap. Hingga
pelatihan usai di jarum jam angka 2, kemudian tiba di rumah menjelang adzan Ashar,
kaki kiri masih seperti biasa.
Minggu, 27 desember 2015, mengantar keluarga berlibur ke
rumah orang tua di Desa Cikuya Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung.
Perjalanan ditempuh dengan menyenangkan. Rencana mau naik kereta api,
dibatalkan karena barang bawaan dan pergantian kendaraan umum, akan cukup
merepotkan. Tiba di depan Gang Sukarame II, nyebrang jalan Ahmad Yani, kemudian
naik angkot Dipati Ukur – Panghegar. Alhamdulillah sebuah bis Kobutri jurusan
Cicaheum – Majalaya, sedang mangkal di depan toko alat olah raga. Ternyata sang
supir sedang tidak berada di tempat. Sang kondukter berbaik hati, sebuah angkot
jurusan Cicaheum – Cileunyi dimintanya untuk mengantarkan kami hingga ke
tujuan. Jadilah angkot berpenumpang 6 orang itu, satu penumpang seorang kakek
yang turun di seputaran Ranca Ekek, bergerak meluncur menuju Cileunyi. sesekali
sang angkot menaikkan dan menurunkan penumpang. Namun lepas dari Ranca Ekek,
pintu angkot ditutup dan hanya kami berlima yang menikmati perjalanan itu. Angkot
itu berasa milik sendiri. Alfiyah, Alifah dan Tsaqib, bisa duduk sambil
tiduran. Menerabas Parakan Muncang, kemudian berbelok di Warung Peuteuy,
melintasi rel stasiun Cicalengka, kemudian tibalah kami di rumah dengan dinding
bercat ungu.. Ongkos yang diberikan sesuai tarif umum, kena Rp. 12 ribu
rupiah/orang, yaitu 7 ribu untuk jarak Cicaheum - Cileunyi dan 5 ribu untuk Cileunyi – Warung
Peuteuy nyambung ke Cikuya. Total Rp. 60 ribu untuk berlima.
Lepas sholat ashar, saya pamit. Diantar Husni, adik ipar,
kami menuju stasiun KA Cicalengka. Jadwal
yang bisa diakses adalah keberangkatan pada pukul 17.05 WIB. Berarti harus
menunggu selama 1 jam setengah. Berdiri di loby stasiun, berkali-kali melihat
beberapa jadwal keberangkatan KA, baik yang jarak dekat maupun jarak jauh. KA
ekonomi, bisnis dan eksekutif. Ya, ada keinginan untuk naik KA bersama
keluarga, liburan ke Surabaya atau Jogja. Sekalian napak tilas ke Purwokerto.
Kota kecil yang menorehkan sebuah pengabdian dalam pelaksanaan P2KP pada tahun
2002 hingga 2004. Di kelurahan Rejasari kecamatan Purwokerto Barat, kami pernah
tinggal kurang lebih 4 bulan dari Desember 2003 hingga April 2004. Waktu itu,
baru punya anak 1, yaitu Alfiyah Nur Azizah. Di Rejasari, Alfiyah berhasil
belajar berjalan. Di halaman belakang, suatu ketika hujan turun, saya ajak Alfiyah
hujan-hujanan. Di halaman belakang, Alfiyah mengenal siput, cacing, kaki
seribu, dan fauna lainnya.
Eiiiit, kepanjangan.....pukul 16.30 WIB, loket dibuka.
Antrian mulai berkurang. Selanjutnya penumpang beringsut masuk ke area ruang
tunggu, area yang dibatasi dengan pagar besi. Sebuah jurus ampuh untuk
menertibkan penumpang yang akan menaiki KA agar tidak berbenturan dengan
penumpang yang turun dari KA. Pintu pagar besi baru dibuka, apabila semua
penumpang telah meninggalkan stasiun. Maka berpaculah calon penumpang memburu 7
gerbong yang akan membawanya ke Bandung atau Padalarang.
Pukul 17.50 WIB, saya turun di staisun Kiaracondong. Saku
kecil di bagian depan saku kanan, menyimpan 2 buah uang logam bernilai 500
rupiah dan 1 lembar kertas bergambar Fattimura. Sementara di saku belakang,
tersimpan 1 lembar uang pecahan 50 ribu. Minimal perlu 3 ribu untuk naik angkot
dari fly over Kiaracondong hingga perempatan Antapani. Jika menggunakan uang pecahan
50 ribu, supir angkot mungkin tidak ada kembalian. Mau nuker uang yang 50 ribu,
kayaknya ribet. Kemungkinan tertolak dengan berbagai alasan. Tiba di bawah fly
over, diselidik beberapa toko, kayaknya ga ada yang pas buat transaksi tukar
uang meskipun didahului pembelian. Bergerak ke utara menuju SPBU, terlihat di
tangan kiri petugasnya, tergenggam lembaran uang dengan beberapa nominal. Tapi
sungkan untuk mendekat dan menghampirinya.
Akhirnya, kedua kaki ini melangkah
membawa badan, berjalan menelusuri trotoar. Lima belas menit sebelum adzan
Isya, alhamdulillah tiba di rumah orang tua yang berdekatan dengan kampus BSI
Antapani. Makan, ambil kunci, berikutnya menuju rumah yang berjarak sekitar 100
meter dari rumah orang tua. Sekujur badan penuh keringat. BISUL di hari minggu
itu, sepertinya sedang gerilya. Gerakannya makin lincah, dipicu oleh pori-pori
kulit yang sedang terbuka karena berkeringat. Sepertinya kuman dan bakteri pun
ikut berpesta beserta kotor yang menyertainya.
Senin, 28 desember 2015, BISUL di betis kiri, menampakkan
polahnya. Sesekali jalannya kaki kiri agak lumayan sakit. Sang BISUL sudah
lebih besar dari penampakannya di hari sabtu itu. Kegiatan pelatihan di aula
kantor Camat Ujung Berung, alhamdulillah dapat dituntaskan. Selepas pamit pada
Tim Faskel dan Askot, tujuan berikutnya adalah Masjid Raya Ujung Berung untuk menunaikan
sholat Dhuhur. Baru teringat, sholat Dhuhur di Masjid Raya Ujung Berung itu, tasahud
akhirnya tidak tertunaikan dengan sempurna. Duduknya tegak, menghindari betis kiri
tertindih kaki dan badan secara keseluruhan.
Selasa, 29 desember 2015, kegiatan pelatihan di Cigondewah
Kaler, dijalani dengan teramat berat. Kaki kiri semakin berbobot. Langkah
sedikit tertatih selama perjalanan dari rumah menuju halte Damri di depan BCA
Ahmad Yani. Bis yang dinaiki, kursinya terisi semua. Berdiri di bagian
belakang, kaki kanan mencoba menyeimbangkan kaki kiri yang tidak terlalu
menjejak lantai bis. Kaki kanan mencoba berdiri sendiri menyangga kaki kiri.
Turun di bunderan Cibeureum, kemudian melangkah menuju Gang Cibuntu untuk
berjumpa dengan Duny, faskel MK Tim 17 Kota Bandung. Bertegur sapa tentang
kesehatan, berikutnya motor supra fit bergerak membawa kami menuju SDN III
Cigondewah Kaler.
Jalan berliku membuka gambaran khas daerah Cigondewah yang
dikenal sebagai pusat perdagangan berbagai kain. Setelah melintasi jembatan di
atas Tol Pasir Koja, di kanan dan kiri jalan, berjajar toko kain. Mulai dari
toko kain yang kecil dan sederhana, hingga toko kain yang besar dengan area
parkir yang memadai. Selepas pasar Cigondewah, kami masuk dalam sebuah gang. Lurus,
belok kiri, mentok, ke kanan sedikit, akhirnya tiba di sekolah SDN III
Cgondewah Kaler III. Pelatihan kemudian terlaksana hingga pukul 12 WIB. Di
sebuah mushola kecil, sholat dhuhur tertunaikan. Kembali terulang, duduk
tasahud tidak terlaksana dengan maksimal karena adanya BISUL di betis kiri.
Menunggu di luar kelas hingga pelatihan selesai, berjalan ke toilet sekolah, berjalan
dari kursi di bagian belakang menuju pintu keluar bis Damri, dan berjalan dari
depan gang menuju rumah, semuanya dilakoni dengan langkah yang lambat dan
sedikit tertatih-tatih. Sang BISUL makin menguatkan jaringannnya. Menelisik.
Menjalar. Mewabah. Area di lingkaran BISUL menjadi merah memerah.
Rabu, 30 Desember 2015, selepas subuh, sarapan nasi goreng
di rumah orang tua. Pada pukul 07.05 WIB, bersama Travel Baraya berangkat menuju
Jakarta. Suatu anugrah bisa turun di depan jalan Bendungan Hilir. Biasanya
armada Baraya Full Sarinah, melintasi daerah Kuningan, tidak masuk ke jalan
Sudirman. Keluar dari mobil, langsung disambung dengan ojeg menuju jalan Danau
Trusnan, Kantor KME. Tiba sekitar jam 10, masih dapat ditunaikan sholat Dhuha.
Berikutnya mengikuti kegiatan rapat dan diskusi dengan pokok bahasan hasil kajian
BDC, Survai Impact PPMK dan KMS (Keuangan Mikro Syariah). Dilanjutkan dengan
bahasan secara singkat tentang rencana kajian Federasi UPK. Pukul 4 sore, pamit
kepada TL dan beberapa TA. Tak lain karena BISUL terus berulah. TL menyarankan
untuk menggunakan salep hitam.
Pulang kembali ke Bandung bersama Travel Baraya, dijalani
dengan melipat celana jeans kaki kiri hingga di atas lutut. Rasanya jadi lebih
enak. Meski cenud cenud, sakit luar biasa. Wow, sang BISUL makin besar. Tampak
lingkaran merah di sekelilingnya. Lingkaran merah yang mengeras. Sementara di
bawah mata kaki, kaki membengkak. Rupanya, perjalanan Jakarta – Bandung,
ditambah ulah sang BISUL, menyebabkan kaki membesar. Hingga Rabu itu, BISUL baru
diberi tindakan dengan memberikan obat oles herbal.
Kamis, 31 Desember 2015, seharian di rumah. Obat BISUL
berupa salep hitam, menjadi teman, menggantikan obat salep sebelumnya. Salep hitam
dioleskan di sekeliling BISUL. Siangnya, Ibuku datang membawa nasi dengan lauk
sambal goreng kentang dan ikan. Pada malamnya, BISUL diberi tindakan. Dipijit
di kedua sisinya dengan jempol dan telunjuk. Hancur. Kemudian dilibas air
hangat. Sedikit lega. Tapi beberapa saat kemudian, badan jadi terasa panas
dingin. Rupanya BISUL itu memberikan perlawanan hebat. Di tengah letupan
petasan dan kembang api menyambut pergantian tahun baru, tidur makin tak
nyenyak. Di luar bising, sementara di kaki ada shooting.
Jumat, 1 Januari 2016, beberapa saat sebelum mandi mengguyur
badan, sang BISUL dibersihkan dari salep hitam dengan luncuran air hangat.
Empat jari kembali memijit. Hasilnya nihil. Sang BISUL tetap kuat. Jam 2 siang,
ibu datang membawa nasi dengan lauk sayur urab. Beberapa saat selepas Ashar,
keluarga tiba di rumah. Alfiyah, Alifah dan Tsaqib, begitu masuk rumah, kompak
ingin melihat kaki ayahnya yang sejatinya ingin melihat BISUL. Berikutnya masuk
sang istri, Mamah dan keluarga Heru. Meluncurlah cerita bahwa tukang sayur yang
menjadi langganan di komplek rumahnya, di Depok, sedang punya problem yang
sama, BISUL di lengan kanan.
Sabtu, 2 Januari 2016, sang BISUL di siang diberi perlakuan
untuk dipecahkan oleh ibunya anak-anak. Tapi malah sakit luar biasa dampaknya.
Problem juga dialami Tsaqib, sebuah gunting oleh-oleh dari Singapura, yang
tergeletak di atas bantal, tanpa babibu, menusuk telapak kaki kanannya.
Tangisan diiringi jeritan, langsung membahana. Ada saja musibah yang dialami si
bungsu, sebelumnya, jempol kanannya pernah tertusuk jarum, sementara kaki
kirinya pernah terlindas sepeda motor.
Ahad – Selasa, 3 – 5 Januari 2016, daun iyen-iyen mengitari BISUL. Pengaruhnya cukup baik. Area merah di
sekeliling BISUL semakin berkurang. Sementara pada Rabu dan Kamis, 6 – 7
Januari 2016, parutan kentang menggantikan tugas daun Iyen-iyen yang memang
sudah habis. Jika daun iyen-iyen ada
rasa panas yang mengirinya, sementara parutan kentang, ada rasa dingin dan
lebih adem. Area merah terus mengecil. Tapi sang BISUL masih terlalu kuat untuk
dipecahkan. Tampilan BISUL tampak hitam dan keras. Mata BISUL ntah di bagian
mana.
Jumat, 8 Januari 2016, selain BISUL, gatal-gatal mulai
datang menyerang. Awalnya di area lipatan kaki, jari dan paha. Kemudian
merambah ke area pinggang dan perut. Mandi dengan air hangat, kemudian ditaburi
bedak NIK NAK, rasanya adem. BISUL dibiarkan saja. Bagian tengahnya yang hitam
dan keras. Meski demikian, rasa panas dan dingin masih sering muncul. Mungkin
terjadi persekongkolan antara BISUL dan gatal-gatal yang terus menggedor
pertahanan tubuh.
Sabtu, 9 Januari 2016, BISUL dan gatal-gatal memberikan warna
lain dalam rangka silaturahim ke Depok untuk menghadiri acara Tasyakur Khitanan
Idlan Rafansya Mataburu, anak kedua dari Iyam (Saudara Kandung) dan Ilham yang
akan dilaksanakan pada 10 Januari 2016. Ulah
sang BISUL sesekali mengeluarkan cairan kuning bercampur dengan darah. Tissue
yang selalu tersedia, sigap dan siap untuk menyekanya. Tidak ada tindakan lain
pada sang BISUL. Sementara jamur/bakteri/kuman bergerilya terus menebar rasa
gatal. Tablet kecil berwarna putih, Recitizine, menggantikan obat CTM yang
belum dikonsumsi untuk mengurangi rasa sakit gatal-gatal tersebut. Rupanya Bi
Dede, adik dari Kakeknya Alfiyah, juga mengalami sakit gatal-gatal. Apakah
sedang mewabah penyakit gatal-gatal? Apakah perubahan musim dari kemarau ke
hujan turut memicu munculnya alergi?
Ahad, 10 Januari 2016, acara tasyakur khitan digelar di
gedung serba guna Masjid Al-Hidayah Beji. Acara diikuti dengan menahan rasa
sakit di kaki kiri. Ketika melangkah, sering terjadi gesekan antara BISUL
dengan celana. Gesekan itu menimbulkan rasa sakit lumayan. Untuk mengurangi
terjadinya gesekan, solusi ditempuh dengan cara lebih banyak melakukan
aktivitas duduk daripada berdiri dan berjalan. Duduk di area yang berdekatan
dengan panggung yang dikuasi Tim Nasyid Senandung Madani dari Cicelangka
Kabupaten Bandung. Di beberapa jeda, celana di kaki kiri dilipat hingga di atas
lutut, menghindari celana mengganggu kedaulatan BISUL.
Pukul 2 siang lebih, kami pamit untuk pulang. Sementara
Kakek dan Nenek Alfiyah lanjut hingga acara selesai. Sambil mengenakan celana
HAWAI/pendek, perjalanan pulang diselingi dengan mempermainkan luka kering
BISUL yang sepertinya mau terlepas. Tersisa sedikit bagian yang masih menempel
kuat. Tapi bagian sedikit itulah yang bisa menimbulkan rasa sakit terbesar.
Sebelumnya ada keinginan agar luka yang mengering tersebut bisa terlepas di
rumah untuk mendapat tindakan lebih baik.
Kami berhenti sejenak di rest area KM 39 untuk menunaikan
Sholat Ashar. Diambillah celana panjang hitam yang sebelumnya dipakai waktu
acara di Depok. Sambil agak berdiri, celana itu mulai dipakai. Pertama di kaki
kanan. Kemudian dipasangkan ke kaki kiri. Belum tuntas seluruh bagian celana
menutupi kaki kiri, apa yang dibayangkan menjadi kenyataan. Celana menggesek
bagian luka di BISUL. Teriakan yang terkekang keluar secara spontan. Celana itu
diturunkan kembali. Ajaib, bagian luka itu telah lepas. Tampaklah sebuah luka
dengan diameter 2 cm dan kedalaman 2 mm. Di beberapa bagian tampak
lubang-lubang dengan ukuran kecil. Mungkin lubang kecil itu bagian dari
intisari/mata BISUL. Darahpun menggeliat meski tidak deras.
Celana panjang kembali dikenakan. Lancar jaya menutupi kedua
kaki. kemudian melangkah mantap menuju masjid untuk menunaikan sholat Ashar,
meski sesekali merintih menahan rasa sakit.