I
Love Damri
Kota Bandung yang terus bertumbuh, pelayanan Bis Damri semakin
berkembang. Melalui Trans Metro Bandung (TMB), Damri meluncurkan bis dengan
tampilan elegant. Bekerja sama dengan
beberapa perusahaan swasta, Damri pun memfasilitasi layanan gratis bagi pelajar
pada hari Senin dan Kamis. Dan aku, bagian dari warga Bandung yang menikmati
layanan Damri sejak baheula. Menjadi
bagian dari gerakan agar jalanan Bandung tidak makin heurin dan macet. Yes, I love
Damri.
Jelang tengah hari, 17 Maret
2014, pukul 11.15 WIB dari halte TMD depan BCA jalan Ahmad Yani, aku naiki
Damri Jalur 1 Jurusan Cicaheum – Cibeureum. Kursi otomatis terbuka. Kujejaki
tangganya. Kulepas pandangan. Semua kursi terisi. Kubelah lorong barisan kursi
untuk berdiri dekat kursi barisan belakang. Kemudian sebuah tiket aku tukar
dengan uang sejumlah Rp. 3.000.
Pak Jejen
Di halte Stadion Persib, naik seorang Pak Tua, penjual koran.
Sementara aku berdiri, Pak Tua itu memilih duduk di bawah di depan pijakan kaki
para penumpang di kursi barisan belakang. Ketika bis sampai di sekitar Pasar Kosambi,
banyak penumpang yang turun. Beberapa kursi yang kosong di barisan belakang
siap untuk diduduki penumpang, termasuk aku yang kemudian duduk di sebelah Pak Tua
yang telah duduk lebih dulu.
Aku sampaikan obrolan kecil. Pak
Tua bercerita bahwa dari Senin hingga Sabtu, berkeliling jualan koran ke
beberapa kantor pemerintah, antara lain di kantor Dinas Pariwisata. Pak Tua itu
bernama Jejen. Pak Jejen belum punya cucu. Selain nikah di usia yang terbilang
tidak muda, kedua anaknya adalah laki-laki dan saat ini mereka masih lajang. Si
cikal berusia 22 tahun dan sudah lebih dari satu tahun bekerja di bengkel.
Sementara si bungsu kelas 3 SMK jurusan
mesin. Saat akan turun di perempatan Jalan Suryani, Pak Jejen sempat
menyampaikan sebait doa. Aku jabat tangan Pak Jejen.
Tiba di bunderan Cibeureum, kang Deden sudah menanti dengan motornya. Beberapa
menit kemudian, aku tiba di Aula kelurahan Cijerah. Terletak di lantai atas,
ruangan pelatihan masih belum terisi penuh. Peserta pelatihan belum komplit. Di bagian depan sudah terpasang
sebuah spanduk. Buku tulis untuk peserta, diberi cover yang mencirikan kekhasan pelatihan yang akan digelar. Luar
biasa kesiapan dan sambutan panitia. Aku berikan 1 jempol.
Pak Ojang
Lepas Maghrib, diantar kang Didi, aku bergegas menuju lampu merah
perempatan Pasir Koja – Soekarno-Hatta (Bypass).
Ya, aku mesti segera meluncur ke Sukabumi. Beruntung, bis Bhinneka masih
menyisakan 1 kursi di bagian belakang. Aku duduk di sebelah seorang Pak Tua. Ternyata Pak Tua itu tunarungu
dan wicara. Ketika aku tanya berapa jam perjalanan Bandung - Sukabumi, Pak Tua menunjukkan
3 jarinya. Beberapa kali aku ajak bicara, Pak Tua berbicara kurang jelas dan
sesekali menunjukkan pendengarannya.
Daripada diem dan ngalamun aja, berikutnya
aku ajak Pak Tua untuk berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Aku gerakkan jari
tangan untuk menulis YAYAN, nama kecilku. Aduh, bahasa isyaratku payah. Beralih,
aku ajak Pak Tua ngobrol dengan
tulisan. Diawali dengan menulis ulang namaku. Aku minta Pak Tua menuliskan
namanya. Pelan-pelan tangan kanannya menggerakan pena. Ditulisnya ‘OJANG’. Oh,
itu nama Pak Tua. Pak Ojang sudah punya 3 orang cucu.
Pak Ojang aku ajak selfie pake kamera Canon. Kemudian aku perlihatkan photonya. Ternyata mata Pak Ojang
sudah agak rabun. Meski begitu, Pak Ojang tampak senang banget. Beberapa kali Pak
Ojang menunjukkan thumnya. Aku berikan
sebuah kartu nama dan Pak Ojang menggerakkan tangannya membentuk kacamata.
Mengisyaratkan bahwa penglihatannya sudah kurang bagus. Photo tadi aku pasang
di laptop. Aku perlihatkan photonya dengan zoom.
Aku tunjukkan gambarnya. Lama menatap sambil tersenyum, Pak Ojang mengeluarkan lagi
jempolnya. Disekanya bulir titik air dari matanya.
Jelang Ciranjang, lagu Ayah yang
dilantunkan Ebiet G. Ade, menjadi penutup obrolan kami. Bispun kemudian melaju
dihiasi pedagang asong yang berjualan Tahu Sumedang dan kacang goreng yang
ditingkahi oleh obrolan sang sopir dengan kernetnya.
Aku perhatikan, Pak Ojang
mengamati setiap sudut tempat yang dilewati bis. Sepertinya Pak Ojang sedang
mencermati ‘tanda’ bangunan/tempat sebagai acuan untuk turun. Dugaanku betul, Pak
Ojang mau turun di batas Kota Cianjur
jelang terminal Rawabango. Pak Ojang menggerakkan tangan kanannya menyerupai
kendaraan yang sedang melaju, kemudian telunjuk tangan kanannya menekan telapak
tangan kirinya. Aku jabat tangan kanannya. Pak Ojangpun beranjak dari kursinya.
Ketika sang kernet bertanya, Pak Ojang hanya mengangguk. Kemudian aku tegasan
bahwa Pa Ojang minta turun di sini. Saat ini. Sekarang juga. Sang kernetpun
menggerakkan uang logamnya, mengetuk kaca jendela sebagai sign pada sang sopir bahwa akan ada penumpang yang akan turun.
Mang Ihin
Jelang tengah malam, untuk
pertama kali, aku jejakkan kaki di terminal Kota Sukabumi. Menanti Mang Ihin
datang menjemput, aku dekati penjual ketan oncom. Sambil mematangkan ketannya,
obrolan pun terbentuk. Sementara alunan musik dangdut, membuat asyik sebuah
proses ‘pematangan ketan’ yang sedang berlangsung. Proses itu berulang kembali
manakala Mang Ihin tiba dan kemudian aku pesankan 5 buah ketan.
Mang Ihin adalah anak pertama dari adik kakekku. Pertemuan kami
biasanya terjadi di Limbangan Kabupaten Garut pada saat Lebaran. Mang Ihin
beserta keluarganya, menyambutku dengan suka cita. Berbagai makanan sudah
disiapkan. Kamar depan, biasanya dihuni Ilham, anak pertamanya, malam ini, jadi
milikku. Ilham untuk sementara bergabung dengan adiknya di kamar dekat dapur.
Tak lama, akupun terlelap. Bersiap untuk esok mengisi pelmas di aula Kantor PU
Kota Sukabumi.
Ketika mentari mulai menyapa, aku dan Mang Ihin keluar rumah.
Mencermati lingkungan dan jalanan yang tadi malam kami lalui. Sesekali
kujepretkan tombol si Canon untuk
mengambil gambar. Rumah Mang Ihin ternyata dikelilingi sawah. Sepenggalan jalan
menuju rumahnya, adalah buah dari gotong royong kegiatan PNPM MP tahun 2009.
Kondisi jalannya masih cukup bagus. Jempol untuk BKM Ikhlas Kelurahan Sindang
Sari dan Tim Faskel. Kami langkahi jalan setapak itu hingga tiba di pesantren
At-Taqwa. Aku juga cermati sebuah MCK buah dari P4IP dan sedikit bergaya dekat
papan proyek P4IP untuk kegiatan saluran irigasi yang terletak persis di depan
Rumah Mang Ihin.
Di pagi itu, 18 Maret 2014, menjadi hari yang lain bagi Mang Ihin. Ada
aktivitas yang berbeda dari rutinitas yang selama ini dijalaninya. Ada menu
yang berbeda saat sarapan dan ada teman lain saat berangkat menuju tempat
kerja. Ada jejak saudara di rumahnya. Jejak yang kembali berulang setelah
ayahku berkunjung 20 tahun yang lalu, saat Mang Ihin meminang istrinya.
Doa
Itulah sebulir pengalaman. Mencoba untuk berkomunikasi dengan orang
yang baru kita kenal, bukan hal yang mudah. Terkadang dugaan kita yang
mengerdilkan niatan itu. Betapa Pak Jejen dan Pak Ojang menampakkan riangnya
ditegur dan disapa sebagaimana senangnya aku bisa menegur dan menyapa. Betapa Mang
Ihin memperlihatkan rasa bahagianya manakala dikunjungi sebagaimana gembiranya
aku karena akhirnya bisa berkunjung dan bersilturahim ke rumahnya. Tegur dan
sapa menunjukkan bahwa kita bisa berteman. Berkunjung dan bersilaturahim
menunjukkan bahwa kita bisa saling memberi, berbagi dan membangun harapan.
Kemudian ujung dari itu semua adalah meluncur doa.