Fantastis
Melintasi Tol Cipularang pada penghujung tahun 2005
dengan menggunakan hijet tua 1.000 cc
keluaran tahun 1988, memunculkan rasa
bangga terhadap capaian anak bangsa. Tol dengan panjang lebih dari 133 km dan
bertarif Rp. 43.000 tersebut, membelah beberapa bukit dan perkebunan. Tol
Cipularang memiliki beberapa jembatan kokoh yang membentang di antara dua
lembah dengan tiangnya yang menghunjam
bumi. Di beberapa titik, bentangan jalannya memiliki tebing-tebing yang keras
dan berbau magis. Perjalanan Bandung – Depok pada waktu itu, ternyata bisa
dicapai selama 2,5 jam. Fantastis.
Beberapa waktu kemudian, tersadar bahwa munculnya tol
yang menggunakan APBN sejumlah Rp. 2,4 triliun tersebut telah meredupkan
pergerakan ekonomi di jalur lain , yaitu Bandung, Padalarang, Cianjur dan
Bandung – Purwakarta. Selanjutnya tahun 2009, kereta api Argo Wilis yang
melayani Bandung – Jakarta, dihentikan karena melorotnya jumlah penumpang.
Di sisi lain, Tol Cipularang terus melesat berkembang
cepat. Median jalan yang awalnya berupa drainase dan taman, berganti dengan beton
setinggi 1 meter. Lebarnya terus bertambah. Rest area terus tumbuh di kiri dan
kanan jalan. Lampu penerang jalan semakin banyak dengan semangat go green,
pemanfaatan tenaga surya. Tak mau ketinggalan, iklan rokok, parpol dan
perumahan, menjejak di tol yang diresmikan SBY pada 12 Juli 2005 tersebut.
Meniru gaya ‘Hollywood’.
Persoalan kemudian muncul manakala bentangan tol Jakarta
– Bandung, menarik minat para pengusaha untuk membangun perumahan dengan konsep
kota baru dan membangun kawasan industri. Bahkan hadir tempat pemukiman khusus,
yaitu pemakaman dengan cita rasa berkelas. Hadirnya beberapa kawasan tersebut, semuanya
merasa berhak untuk membuka, membelah dan melintang tol tersebut. Dampaknya,
muncullah bottle neck di beberapa
titik, antara lain akses keluar/menuju Cibitung dan Cikarang, manakala ribuan
kendaraan keluar dari tol menuju kawasan tersebut atau sebaliknya. Persoalan
lain yang sudah muncul sejak awal adalah labilnya tanah, terutama Tol
Cipularang, antara lain di sepanjang km 90 – 100 yang telah berulang kali
mengalami longsor dan di beberapa titik lainnya.
Bahaya di Tol
Cipularang
Saat ini, dibanding tahun 2005, perjalanan melalui
Tol Cipularang, menjadi semakin lama. Kemudian perjalanan itu bisa menjadi
sebuah penderitaan, manakala terjadi tanah longsor atau amblas. Jumat, 24
Januari 2013, pukul 16.10 WIB, persis keluar dari kostan di Bekasi Kaum
kelurahan Bekasi Jaya kecamatan Bekasi Timur, mendapat kabar dari Bandung,
bahwa terjadi tanah amblas di km 72 Tol Cipularang. Masuk Tol Bekasi Timur,
sebelum masuk ke rest area km 57 pada pukul 17.29 WIB, mengalami kemacetan di
sekitar Cibitung dan Cikarang. Perjalanan dilanjutkan dan akhirnya terjebak
mulai km 62 hingga keluar gerbang Tol Cikampek pada pukul 23.30 WIB. Perjalanan
untuk masuk Tol Sadang, mengalami kemacetan juga dan mesti ditempuh hampir 2
jam, pukul 01.25 WIB, baru bisa masuk Tol Sadang. Sejurus kemudian melesat dan
keluar Tol Pasir Koja Bandung pada pukul 02.15 WIB dan sampai rumah pada pukul
02.40 WIB. Total perjalanan 10 jam. Perjalanan melelahkan dan mendebarkan.
Beberapa hal yang dicermati saat terjebak kemacetan
di km 60 hingga masuk Tol Sadang, yaitu : tidak sigapnya pihak berwenang,
pengelola tol atau polisi, dalam mengatur pengalihan arus kendaraan yang mau
masuk Tol Cipularang kemudian dialihkan untuk keluar Tol Cikampek terlebih
dahulu. Board teks yang terdapat di
km 59, tidak menginformasikan pengalihan arus tersebut.
Demikian juga dengan marka jalan yang dipasang hanya
100 meter menjelang pemisahan arus. Hal lain yang juga perlu dikritisi adalah
tidak pedulinya radio lokal dengan kejadian ini. Radio tersebut tetep anteng menghibur pendengarnya dengan
musiknya yang asyik dan beberapa lagu memang enak didengar dan mendorong kaki,
tangan dan kepala untuk bergerak mengikuti iramanya.
Selanjutnya di gerbang Tol Cikampek, petugasnya tidak
sigap dengan tidak dikerahkannya tambahan personil, meski kemudian akhirnya
gerbang tol dijadikan satu arus sebagai gerbang keluar untuk beberapa jam.
Kejadian tersebut
merupakan peringatan keras terhadap keberadaan Tol Cipularang. Selain
sering tambal sulam karena banyak bagian jalan yang rusak dan berlubang, ditambah
dengan beberapa tanjakan, turunan dan tikungan yang tajam, hembusan angin,
longsoran tanah dan ilalang yang sering terbakar di musim kemarau, jika tidak
diantisipasi, Tol Cipularang suatu saat tak akan berdaya menerima beban arus
kendaraan yang setiap tahun terus bertambah.
Solusi
Mencermati perkembangan Tol Cipularang dan tol
sambungannya, yaitu Tol Jakarta – Cikampek, dan kejadian yang terjadi di
sepanjang ruas tol tersebut, kiranya bisa dimunculkan regulasi yang mengatur
ganti rugi kepada para pengguna jalan dari pengelola tol apabila terjadi
kemacetan yang luar biasa yang disebabkan tidak sigapnya pengelola tol seperti
peristiwa 24 Januari 2013 lalu. Dalam dunia penerbangan, jika pesawat delay,
maka maskapainya memberikan konpensasi pada penumpangnya. Selanjutnya dilakukan
simulasi pengamanan dan penggunaan jalur alternatif lain jika kejadian serupa
terulang di titik-titik rawan longsor sepanjang Tol Cipularang. Patroli dari
pengelola, dishub dan kepolisian juga harus ditingkatkan.
Selanjutnya, moratorium pembukaan kawasan
permukiman/industri di sepanjang tol yang menyebabkan pembentukan bottle neck baru. Pembukaan kawasan baru
di sepanjang Bekasi – Cikampek, hendaknya mengoptimalkan pintu tol yang sudah
ada. Sementara di sepanjang Cipularang, sebaiknya tidak dilakukan pembukaan
kawasan baru. Agar hijau dan asrinya alam di kiri dan kanan Cipularang tetap
terjaga. Wacana pembukaan kota baru di sekitar perkebunan Teh Walini, mesti
ditolak. Kalau hal tersebut terjadi, menumpukkan penumbuhan kota baru hanya di
bagian barat dan menapikan pengembangan kawasan di bagian selatan Jawa Barat.
Beban Tol Jakarta – Bandung, terutama Tol Cipularang
dengan karakteristiknya yang unik, yang akan semakin berat, pengelolaannya
harus dibarengi dengan optimalisasi sarana transportasi kereta api. Sebuah
kebijakan aneh manakala di jalur lain, yaitu Bogor hingga Cianjur, kereta api
dihidupkan kembali dan segera menyusul ke wilayah selatan dan timur lainnya di
Jawa Barat, sementara kereta api Parahyangan malah dihentikan pada tahun 2010
dengan argumen ‘merugi’, kemudian malah dikomersialkan dengan munculnya kereta
api Argo Gede. Saatnya kereta api dengan tarif ‘merakyat’, dihidupkan kembali di
jalur tersebut sebagai penyeimbang dan sarana alternatif untuk mobilitas warga
dari dan ke Bandung – Jakarta dan sekitarnya.
Sebaliknya dengan rencana pembangunan tol Ciawi –
Padalarang, mesti diperhitungkan dengan matang. Pembangunannya jangan membuat
perkonomian sepanjang jalan Ciawi, Puncak, Cianjur dan Padalarang, malah
menjadi ‘mati beneran’, bukan ‘mati suri’. Langkah berikutnya, ‘blue print’ pengembangan tol di Jawa
Barat, harus menjadi informasi yang terbuka untuk publik, bukan hanya menjadi
konsumsi untuk kalangan tertentu, yaitu penguasa dan pengusaha.
Terakhir, kecil tapi tidak bisa dianggap sepele,
pengelola tol harus mulai menggunakan instrumen SMS (jangan keukeuh hanya menerima laporan via
telpon), media lokal (radio) dan media sosial (facebook/twitter) sebagai media
untuk percepatan dalam penyampaian informasi terkini kepada masyarakat mengenai
peristiwa yang terjadi di sepanjang tol.