Mendengar ungkapan bahwa
belum lengkap datang ke Kepulauan Riau kalau belum singgah ke Pulau Penyengat,
pada Ahad 7 September 2014, saya ditemani Kang Ery (Garut) dan Pa Asmen (Aceh)
yang kebetulan bertugas sebagai Tenaga Ahli dalam Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Provinsi Kepulauan Riau , berkesempatan untuk menjejakkan
langkah di pulau tersebut. Berkendaraan angkot dengan tarif Rp. 4.000, sekitar 15 menit kemudian, kami tiba di pintu
gerbang menuju dermaga yang melayani penyeberangan ke Pulau Penyengat. Dermaga
ini bersebelahan dengan pelabuhan Tanjung Pinang yang melayani penyeberangan ke
Kota Batam. Pintu gerbang dermaga masih sederhana hanya berupa plang melintang
di atas jalan dengan bangunan di kiri dan kanan. Jalan masuk menuju dermaga berbelok
dan di dinding kiri terdapat beberapa mural.
Selanjutnya kami membayar biaya penyeberangan dengan
tarif Rp. 6.000 per orang. Disebut ‘biaya penyeberangan’ dan tidak disebut
dengan membeli ‘tiket penyeberangan’, karena saat itu kami tidak menerima tiket
sebagai bukti kami membayar biaya penyeberangan. Menunggu sekitar 5 menit,
seluruh penumpang langsung naik perahu bermotor atau yang lebih dikenal dengan
sebutan pompong dan melaju menuju
Pulau Penyengat.
Lima belas menit kemudian, kami tiba di pelantar dermaga
Pulau Penyengat. Kami disambut dengan jajaran motor yang berbaris di sepanjang
koridor/lorong dermaga dan beberapa kios kaki lima yang menjajakan makanan khas
Tanjung Pinang. Berjalan 100 meter kemudian, kami sudah tiba di Masjid Raya
Riau Pulau Penyengat. Mesjid berbalut warna kuning dan hijau itu, terbuat dari campuran
putih telur, kapur, pasir dan tanah liat, tampak berdiri kokoh meski telah
berusia ratusan tahun. Masjid Raya Riau
Pulau Penyengat dibangun tahun 1803 oleh Sultan Mahmud.
Selanjutnya kami mengunjungi Kantor Istana yang
sedang dicat ulang. Kami juga mengunjungi Balai Adat dengan sumur yang airnya
tidak asin padahal hanya berjarak beberapa meter dari laut. Kami pun menapaki pelantar yang terdapat persis di depan Balai Adat.
Pelantar dengan panjang lebih dari 100
meter tersebut, menampilkan daya pikat tersendiri, seakan kita bisa terus
menjejak ke arah laut.
Selepas dari Balai Adat, kami mengunjungi beberapa
makam, antara lain Makam Raja Haji
Fisabilillah (Yang Dipertuan Muda Riau IV, tahun 1725 - 17840, Pahlawan
Nasional dan diabadikan namanya sebagai nama Bandara di Kota Tanjungpinang).
Kemudian Makam Raja Ja’far (Yang Dipertuan Muda Riau VI, tahun 1805 – 1832), dan
Raja Ali (Yang Dipertuan Muda Riau VII, tahun 1844 – 1857).
Istirahat sejenak setelah Sholat Dhuhur, tour de
Pulau Penyengat dilanjutkan dengan perjalanan menuju Benteng Bukit Kursi.
Sebelum menaiki beberapa anak tangga, kami jumpai gudang mesiu dan kompleks
makam lainnya. Mendaki jalan yang dipasangi bata, kami pun tiba di Benteng
Bukit Kursi, benteng pertahanan yang dibangun menjelang terjadinya perang
antara Kerajaan Riau dengan Belanda pada tahun 1782 - 1784. Benteng tersebut dilengkapi meriam di tiap sudutnya.
Betapa meriam-meriam tersebut disiapkan untuk menyambut datangnya kapal perang
Belanda. Sejauh mata memandang, maka sejauh itulah moncong meriam diarahkan.
Sebelum kami mengakhiri kunjungan di Pulau Penyengat,
kami mengunjungi sebuah bangunan yang unik, yaitu Perigi Putri. Bangunan tersebut
merupakan tempat para putri kerajaan mencuci pakaian dan mandi. Perigi Putri
tidak memiliki jendela dan lubang angin. Di dalamnya terdapat kolam dan tempat
duduk untuk mencuci yang bentuknya menyerupai kursi panjang.
Mengelilingi Pulau Penyengat dengan beragam situsnya
yang membuat takjub, di siang bolong dan tidak bertopi, terbuktilah bahwa pulau
seluas 2 ha tersebut betul-betul menyengat. Dua botol air mineral, dirasakan
masih kurang. Perlu waktu lebih dari 2 jam untuk berkeliling dan menikmati
indahnya Pulau Penyengat. Berbeda dengan pengunjung lainnya yang menggunakan
jasa ojeg dengan tarif sewa Rp. 30.000 untuk keliling selama 1 jam, kami
memilih berkeliling dengan berjalan kaki. Hasilnya? Kami tersengat dan takjub dengan ‘sejarah’
yang terdapat di Pulau Penyengat.
Tersengatnya kami di Pulau Penyengat, ternodai dengan
beberapa hal yang tampak sepele dan kecil, tapi akan berdampak buruk terhadap
kelestarian budaya yang ada. Di beberapa titik, kami perhatikan adanya bangunan
berupa rumah dan kios yang tidak terawat. Bersebelahan dengan kompleks makam
menuju Benteng Bukit Kursi, terdapat bangunan permanen yang telah dibongkar dan
dibiarkan begitu saja. Sebuah pertanyaan layak diajukan, mengapa bangunan itu
bisa berdiri dan kemudian dibongkar? Siapa yang membangun dan bagaimana
perizinannya? Di sisi lain, dekat Perigi Putri, pembangunan beberapa rumah permanen
lainnya bergeliat. Jalur air dari sumur pompa, pipanya menjalar, bersinggungan
dan saling bersaing antara pemilik jaringan pipa yang satu dengan pemilik
lainnya. Mencerminkan ke-aku-an pemiliknya dan bertolak belakang semangat ‘para
leluhur’.
Di sisi lain, gedung 2 lantai sebagai pusat oleh-oleh,
masih kosong belum terpakai. Sementara area lapangan beserta panggungnya yang
berada di depan Masjid Raya, menjadi tempat favorit untuk istirahat para
pengojeg dan arena bermain bagi anak-anak. Hampir di semua makam, tidak ada
petugas khusus yang menyambut kedatangan pengunjung. Sementara pengemudi ojeg, melaju
hilir mudik menyusuri setiap ruas jalan tanpa rute yang berurut dan teratur. Kondisi
di Benteng Bukit Kursi, beberapa kios tidak terpakai dan telah mengalami
kerusakan. Jalan setapak yang terbuat dari pasangan bata, di beberapa titik
terlepas dan renggang.
Perlu kemauan yang kuat dan kebersamaan untuk menata
Pulau Penyengat sebagai Jati Diri masyarakat Kepulauan Riau. Hingga di kemudian hari, Pulau Penyengat menjadi
magnet wisata di Kota Tanjung Pinang bahkan di Provinsi Kepulauan Riau.
Pembenahan antara lain menyangkut pintu gerbang di area dermaga, pompong yang dapat tampil lebih menarik dan
nyaman, optimalisasi area panggung dengan penampilan kesenian lokal minimal 1
kali dalam 1 bulan dengan ekspose dan promosi di berbagai media, moratorium dan
lokalisasi rumah penduduk agar tidak merambah dan meluas ke berbagai wilayah di
Pulau Penyengat dan diiringi dengan penataannya yang bersifat lokal dan berjati
diri ‘Gurindam Dua Belas’.
Hal lainnya yaitu mempercantik tampilan ojeg dengan
warna khas Pulau Penyengat, yaitu kuning dan hijau, pengaturan jam
keberangkatan dan arus laju ojeg. Perlu ditata juga adalah jaringan pipa air
dengan sentralisasi, pemasangan jaringan pipa bawah tanah dan pembuatan bak
kontrol. Berikutnya penataan area Benteng Bukit Kursi, Peta Pulau Penyengat
yang mulai tampak kusam, dan paling pokok, menumbuhkan jati diri para penduduknya
bahwa mereka adalah pewaris dari budaya luhur Pulau Penyengat, sebuah pulau
yang telah diajukan untuk menjadi Situs Warisan Dunia. Keterlibatan pihak
swasta harus terus ditumbuhkan dan pemerintah bisa menggagasnya antara lain
melalui Program Kampung Wisata Berbasis Komunitas. Pelibatan masyarakat
setempat adalah mutlak untuk menjaga kelestarian Pulau Penyengat.