Kamis, 25 September 2014

Pulau Penyengat



Mendengar ungkapan bahwa belum lengkap datang ke Kepulauan Riau kalau belum singgah ke Pulau Penyengat, pada Ahad 7 September 2014, saya ditemani Kang Ery (Garut) dan Pa Asmen (Aceh) yang kebetulan bertugas sebagai Tenaga Ahli dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Provinsi Kepulauan Riau , berkesempatan untuk menjejakkan langkah di pulau tersebut. Berkendaraan angkot dengan tarif Rp. 4.000,  sekitar 15 menit kemudian, kami tiba di pintu gerbang menuju dermaga yang melayani penyeberangan ke Pulau Penyengat. Dermaga ini bersebelahan dengan pelabuhan Tanjung Pinang yang melayani penyeberangan ke Kota Batam. Pintu gerbang dermaga masih sederhana hanya berupa plang melintang di atas jalan dengan bangunan di kiri dan kanan. Jalan masuk menuju dermaga berbelok dan di dinding kiri terdapat beberapa mural.

Selanjutnya kami membayar biaya penyeberangan dengan tarif Rp. 6.000 per orang. Disebut ‘biaya penyeberangan’ dan tidak disebut dengan membeli ‘tiket penyeberangan’, karena saat itu kami tidak menerima tiket sebagai bukti kami membayar biaya penyeberangan. Menunggu sekitar 5 menit, seluruh penumpang langsung naik perahu bermotor atau yang lebih dikenal dengan sebutan pompong dan melaju menuju Pulau Penyengat.

Lima belas menit kemudian, kami tiba di pelantar dermaga Pulau Penyengat. Kami disambut dengan jajaran motor yang berbaris di sepanjang koridor/lorong dermaga dan beberapa kios kaki lima yang menjajakan makanan khas Tanjung Pinang. Berjalan 100 meter kemudian, kami sudah tiba di Masjid Raya Riau Pulau Penyengat. Mesjid berbalut warna kuning dan hijau itu, terbuat dari campuran putih telur, kapur, pasir dan tanah liat, tampak berdiri kokoh meski telah berusia ratusan tahun.  Masjid Raya Riau Pulau Penyengat dibangun tahun 1803 oleh Sultan Mahmud.

Selanjutnya kami mengunjungi Kantor Istana yang sedang dicat ulang. Kami juga mengunjungi Balai Adat dengan sumur yang airnya tidak asin padahal hanya berjarak beberapa meter dari laut. Kami pun menapaki  pelantar yang terdapat persis di depan Balai Adat. Pelantar dengan panjang  lebih dari 100 meter tersebut, menampilkan daya pikat tersendiri, seakan kita bisa terus menjejak ke arah laut.  

Selepas dari Balai Adat, kami mengunjungi beberapa makam, antara lain  Makam Raja Haji Fisabilillah (Yang Dipertuan Muda Riau IV, tahun 1725 - 17840, Pahlawan Nasional dan diabadikan namanya sebagai nama Bandara di Kota Tanjungpinang). Kemudian Makam Raja Ja’far (Yang Dipertuan Muda Riau VI, tahun 1805 – 1832), dan Raja Ali (Yang Dipertuan Muda Riau VII, tahun 1844 – 1857).  

Istirahat sejenak setelah Sholat Dhuhur, tour de Pulau Penyengat dilanjutkan dengan perjalanan menuju Benteng Bukit Kursi. Sebelum menaiki beberapa anak tangga, kami jumpai gudang mesiu dan kompleks makam lainnya. Mendaki jalan yang dipasangi bata, kami pun tiba di Benteng Bukit Kursi, benteng pertahanan yang dibangun menjelang terjadinya perang antara Kerajaan Riau dengan Belanda pada tahun 1782 - 1784.  Benteng tersebut dilengkapi meriam di tiap sudutnya. Betapa meriam-meriam tersebut disiapkan untuk menyambut datangnya kapal perang Belanda. Sejauh mata memandang, maka sejauh itulah moncong meriam diarahkan.

Sebelum kami mengakhiri kunjungan di Pulau Penyengat, kami mengunjungi sebuah bangunan yang unik, yaitu Perigi Putri. Bangunan tersebut merupakan tempat para putri kerajaan mencuci pakaian dan mandi. Perigi Putri tidak memiliki jendela dan lubang angin. Di dalamnya terdapat kolam dan tempat duduk untuk mencuci yang bentuknya menyerupai kursi panjang.

Mengelilingi Pulau Penyengat dengan beragam situsnya yang membuat takjub, di siang bolong dan tidak bertopi, terbuktilah bahwa pulau seluas 2 ha tersebut betul-betul menyengat. Dua botol air mineral, dirasakan masih kurang. Perlu waktu lebih dari 2 jam untuk berkeliling dan menikmati indahnya Pulau Penyengat. Berbeda dengan pengunjung lainnya yang menggunakan jasa ojeg dengan tarif sewa Rp. 30.000 untuk keliling selama 1 jam, kami memilih berkeliling dengan berjalan kaki.  Hasilnya? Kami tersengat dan takjub dengan ‘sejarah’ yang terdapat di Pulau Penyengat.

Tersengatnya kami di Pulau Penyengat, ternodai dengan beberapa hal yang tampak sepele dan kecil, tapi akan berdampak buruk terhadap kelestarian budaya yang ada. Di beberapa titik, kami perhatikan adanya bangunan berupa rumah dan kios yang tidak terawat. Bersebelahan dengan kompleks makam menuju Benteng Bukit Kursi, terdapat bangunan permanen yang telah dibongkar dan dibiarkan begitu saja. Sebuah pertanyaan layak diajukan, mengapa bangunan itu bisa berdiri dan kemudian dibongkar? Siapa yang membangun dan bagaimana perizinannya? Di sisi lain, dekat Perigi Putri, pembangunan beberapa rumah permanen lainnya bergeliat. Jalur air dari sumur pompa, pipanya menjalar, bersinggungan dan saling bersaing antara pemilik jaringan pipa yang satu dengan pemilik lainnya. Mencerminkan ke-aku-an pemiliknya dan bertolak belakang semangat ‘para leluhur’.

Di sisi lain, gedung 2 lantai sebagai pusat oleh-oleh, masih kosong belum terpakai. Sementara area lapangan beserta panggungnya yang berada di depan Masjid Raya, menjadi tempat favorit untuk istirahat para pengojeg dan arena bermain bagi anak-anak. Hampir di semua makam, tidak ada petugas khusus yang menyambut kedatangan pengunjung. Sementara pengemudi ojeg, melaju hilir mudik menyusuri setiap ruas jalan tanpa rute yang berurut dan teratur. Kondisi di Benteng Bukit Kursi, beberapa kios tidak terpakai dan telah mengalami kerusakan. Jalan setapak yang terbuat dari pasangan bata, di beberapa titik terlepas dan renggang.

Perlu kemauan yang kuat dan kebersamaan untuk menata Pulau Penyengat sebagai Jati Diri masyarakat Kepulauan Riau.  Hingga di kemudian hari, Pulau Penyengat menjadi magnet wisata di Kota Tanjung Pinang bahkan di Provinsi Kepulauan Riau. Pembenahan antara lain menyangkut pintu gerbang di area dermaga, pompong yang dapat tampil lebih menarik dan nyaman, optimalisasi area panggung dengan penampilan kesenian lokal minimal 1 kali dalam 1 bulan dengan ekspose dan promosi di berbagai media, moratorium dan lokalisasi rumah penduduk agar tidak merambah dan meluas ke berbagai wilayah di Pulau Penyengat dan diiringi dengan penataannya yang bersifat lokal dan berjati diri ‘Gurindam Dua Belas’.

Hal lainnya yaitu mempercantik tampilan ojeg dengan warna khas Pulau Penyengat, yaitu kuning dan hijau, pengaturan jam keberangkatan dan arus laju ojeg. Perlu ditata juga adalah jaringan pipa air dengan sentralisasi, pemasangan jaringan pipa bawah tanah dan pembuatan bak kontrol. Berikutnya penataan area Benteng Bukit Kursi, Peta Pulau Penyengat yang mulai tampak kusam, dan paling pokok, menumbuhkan jati diri para penduduknya bahwa mereka adalah pewaris dari budaya luhur Pulau Penyengat, sebuah pulau yang telah diajukan untuk menjadi Situs Warisan Dunia. Keterlibatan pihak swasta harus terus ditumbuhkan dan pemerintah bisa menggagasnya antara lain melalui Program Kampung Wisata Berbasis Komunitas. Pelibatan masyarakat setempat adalah mutlak untuk menjaga kelestarian Pulau Penyengat.


Kamis, 24 Juli 2014

Meluncur Doa


I Love Damri
Kota Bandung yang terus bertumbuh, pelayanan Bis Damri semakin berkembang. Melalui Trans Metro Bandung (TMB), Damri meluncurkan bis dengan tampilan elegant. Bekerja sama dengan beberapa perusahaan swasta, Damri pun memfasilitasi layanan gratis bagi pelajar pada hari Senin dan Kamis. Dan aku, bagian dari warga Bandung yang menikmati layanan Damri sejak baheula. Menjadi bagian dari gerakan agar jalanan Bandung tidak makin heurin dan macet. Yes, I love Damri.

Jelang tengah hari, 17 Maret 2014, pukul 11.15 WIB dari halte TMD depan BCA jalan Ahmad Yani, aku naiki Damri Jalur 1 Jurusan Cicaheum – Cibeureum. Kursi otomatis terbuka. Kujejaki tangganya. Kulepas pandangan. Semua kursi terisi. Kubelah lorong barisan kursi untuk berdiri dekat kursi barisan belakang. Kemudian sebuah tiket aku tukar dengan uang sejumlah Rp. 3.000. 

Pak Jejen
Di halte Stadion Persib, naik seorang Pak Tua, penjual koran. Sementara aku berdiri, Pak Tua itu memilih duduk di bawah di depan pijakan kaki para penumpang di kursi barisan belakang. Ketika bis sampai di sekitar Pasar Kosambi, banyak penumpang yang turun. Beberapa kursi yang kosong di barisan belakang siap untuk diduduki penumpang, termasuk aku yang kemudian duduk di sebelah Pak Tua yang telah duduk lebih dulu.

Aku sampaikan obrolan kecil. Pak Tua bercerita bahwa dari Senin hingga Sabtu, berkeliling jualan koran ke beberapa kantor pemerintah, antara lain di kantor Dinas Pariwisata. Pak Tua itu bernama Jejen. Pak Jejen belum punya cucu. Selain nikah di usia yang terbilang tidak muda, kedua anaknya adalah laki-laki dan saat ini mereka masih lajang. Si cikal berusia 22 tahun dan sudah lebih dari satu tahun bekerja di bengkel. Sementara si bungsu kelas 3 SMK  jurusan mesin. Saat akan turun di perempatan Jalan Suryani, Pak Jejen sempat menyampaikan sebait doa. Aku jabat tangan Pak Jejen. 

Tiba di bunderan Cibeureum, kang Deden sudah menanti dengan motornya. Beberapa menit kemudian, aku tiba di Aula kelurahan Cijerah. Terletak di lantai atas, ruangan pelatihan masih belum terisi penuh. Peserta pelatihan belum komplit. Di bagian depan sudah terpasang sebuah spanduk. Buku tulis untuk peserta, diberi cover yang mencirikan kekhasan pelatihan yang akan digelar. Luar biasa kesiapan dan sambutan panitia. Aku berikan 1 jempol.

Pak Ojang
Lepas Maghrib, diantar kang Didi, aku bergegas menuju lampu merah perempatan Pasir Koja – Soekarno-Hatta (Bypass). Ya, aku mesti segera meluncur ke Sukabumi. Beruntung, bis Bhinneka masih menyisakan 1 kursi di bagian belakang. Aku duduk di sebelah seorang  Pak Tua. Ternyata Pak Tua itu tunarungu dan wicara. Ketika aku tanya berapa jam perjalanan Bandung - Sukabumi, Pak Tua menunjukkan 3 jarinya. Beberapa kali aku ajak bicara, Pak Tua berbicara kurang jelas dan sesekali menunjukkan pendengarannya.

Daripada diem dan ngalamun aja, berikutnya aku ajak Pak Tua untuk berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Aku gerakkan jari tangan untuk menulis YAYAN, nama kecilku. Aduh, bahasa isyaratku payah. Beralih, aku ajak Pak Tua ngobrol dengan tulisan. Diawali dengan menulis ulang namaku. Aku minta Pak Tua menuliskan namanya. Pelan-pelan tangan kanannya menggerakan pena. Ditulisnya ‘OJANG’. Oh, itu nama Pak Tua. Pak Ojang sudah punya 3 orang cucu.

Pak Ojang aku ajak selfie pake kamera Canon. Kemudian aku perlihatkan photonya. Ternyata mata Pak Ojang sudah agak rabun. Meski begitu, Pak Ojang tampak senang banget. Beberapa kali Pak Ojang menunjukkan thumnya. Aku berikan sebuah kartu nama dan Pak Ojang menggerakkan tangannya membentuk kacamata. Mengisyaratkan bahwa penglihatannya sudah kurang bagus. Photo tadi aku pasang di laptop. Aku perlihatkan photonya dengan zoom. Aku tunjukkan gambarnya. Lama menatap sambil tersenyum, Pak Ojang mengeluarkan lagi jempolnya. Disekanya bulir titik air dari matanya. 

Jelang Ciranjang, lagu Ayah yang dilantunkan Ebiet G. Ade, menjadi penutup obrolan kami. Bispun kemudian melaju dihiasi pedagang asong yang berjualan Tahu Sumedang dan kacang goreng yang ditingkahi oleh obrolan sang sopir dengan kernetnya.

Aku perhatikan, Pak Ojang mengamati setiap sudut tempat yang dilewati bis. Sepertinya Pak Ojang sedang mencermati ‘tanda’ bangunan/tempat sebagai acuan untuk turun. Dugaanku betul, Pak Ojang mau turun di batas Kota Cianjur jelang terminal Rawabango. Pak Ojang menggerakkan tangan kanannya menyerupai kendaraan yang sedang melaju, kemudian telunjuk tangan kanannya menekan telapak tangan kirinya. Aku jabat tangan kanannya. Pak Ojangpun beranjak dari kursinya. Ketika sang kernet bertanya, Pak Ojang hanya mengangguk. Kemudian aku tegasan bahwa Pa Ojang minta turun di sini. Saat ini. Sekarang juga. Sang kernetpun menggerakkan uang logamnya, mengetuk kaca jendela sebagai sign pada sang sopir bahwa akan ada penumpang yang akan turun.

Mang Ihin
Jelang tengah malam, untuk pertama kali, aku jejakkan kaki di terminal Kota Sukabumi. Menanti Mang Ihin datang menjemput, aku dekati penjual ketan oncom. Sambil mematangkan ketannya, obrolan pun terbentuk. Sementara alunan musik dangdut, membuat asyik sebuah proses ‘pematangan ketan’ yang sedang berlangsung. Proses itu berulang kembali manakala Mang Ihin tiba dan kemudian aku pesankan 5 buah ketan.   

Mang Ihin adalah anak pertama dari adik kakekku. Pertemuan kami biasanya terjadi di Limbangan Kabupaten Garut pada saat Lebaran. Mang Ihin beserta keluarganya, menyambutku dengan suka cita. Berbagai makanan sudah disiapkan. Kamar depan, biasanya dihuni Ilham, anak pertamanya, malam ini, jadi milikku. Ilham untuk sementara bergabung dengan adiknya di kamar dekat dapur. Tak lama, akupun terlelap. Bersiap untuk esok mengisi pelmas di aula Kantor PU Kota Sukabumi.

Ketika mentari mulai menyapa, aku dan Mang Ihin keluar rumah. Mencermati lingkungan dan jalanan yang tadi malam kami lalui. Sesekali kujepretkan tombol si Canon untuk mengambil gambar. Rumah Mang Ihin ternyata dikelilingi sawah. Sepenggalan jalan menuju rumahnya, adalah buah dari gotong royong kegiatan PNPM MP tahun 2009. Kondisi jalannya masih cukup bagus. Jempol untuk BKM Ikhlas Kelurahan Sindang Sari dan Tim Faskel. Kami langkahi jalan setapak itu hingga tiba di pesantren At-Taqwa. Aku juga cermati sebuah MCK buah dari P4IP dan sedikit bergaya dekat papan proyek P4IP untuk kegiatan saluran irigasi yang terletak persis di depan Rumah Mang Ihin.  

Di pagi itu, 18 Maret 2014, menjadi hari yang lain bagi Mang Ihin. Ada aktivitas yang berbeda dari rutinitas yang selama ini dijalaninya. Ada menu yang berbeda saat sarapan dan ada teman lain saat berangkat menuju tempat kerja. Ada jejak saudara di rumahnya. Jejak yang kembali berulang setelah ayahku berkunjung 20 tahun yang lalu, saat Mang Ihin meminang istrinya. 

Doa
Itulah sebulir pengalaman. Mencoba untuk berkomunikasi dengan orang yang baru kita kenal, bukan hal yang mudah. Terkadang dugaan kita yang mengerdilkan niatan itu. Betapa Pak Jejen dan Pak Ojang menampakkan riangnya ditegur dan disapa sebagaimana senangnya aku bisa menegur dan menyapa. Betapa Mang Ihin memperlihatkan rasa bahagianya manakala dikunjungi sebagaimana gembiranya aku karena akhirnya bisa berkunjung dan bersilturahim ke rumahnya. Tegur dan sapa menunjukkan bahwa kita bisa berteman. Berkunjung dan bersilaturahim menunjukkan bahwa kita bisa saling memberi, berbagi dan membangun harapan. Kemudian ujung dari itu semua adalah meluncur doa.

Selasa, 10 Juni 2014

Tour de Jabar


Gergaji Mesti Diasah

Sebagaimana ‘tradisi’, bulan Januari sd Maret, adalah masa kritis. Pertempuran antara kepentingan dan kebutuhan. Kepentingan proyek agar seluruh BLM dapat diserap habis, baik untuk Tridaya maupun BLM untuk pelatihan masyarakat. Kebutuhan bagi masyarakat yang dengan setia berjibaku membangun daerahnya dan dahaga untuk mendapatkan penguatan dengan bekal yang berlimpah melalui Pelatihan Masyarakat (Pelmas). Di sisi lain, kebutuhan fasilitator di triwulan pertama yang lagi-lagi mengalami keterlambatan gaji, seakan tak mau ketinggalan, turut berkompetisi dalam pertempuran tersebut.

Pemanfaatan BLM dan pelaksanaan Pelmas, akhirnya dapat dituntaskan. Meski terdapat temuan, melalui audit oleh akuntan publik maupun inspektorat dan BPKP, di banyak lokasi, pemanfaatan BLM mencerminkan kekuatan dan kebulatan tekad seluruh pelaku sehingga menghasilkan karya terbaik. Sementara pelmas, yang dibenturkan dengan pemanfaatan BLM, menjadi sedikit terabaikan. Meski demikian, di banyak lokasi, pelmas dikemas dengan baik, dan diikuti dengan antusias. Ujungnya, menumbuhkan keyakinan bahwa ‘gergaji mesti diasah’, jangan terus-terusan dipakai karena suatu waktu akan menjadi tumpul dan tidak tajam.  

Tour de Jabar

Berawal dari sebuah ‘promosi’ kecil dalam rakor rutin yang dilaksanakan oleh teman-teman di Kabupaten Bandung, langkah berikutnya menjadi berkembang dan terbentang panjang. Sejurus kemudian, via SMS, informasi ESQ/materi motivasi, disampaikan pada semua Walikota/Bupati PNPM di Jabar. Beragam tanggapan muncul, terutama dikaitkan dengan tahun politik. Hadeeeeeuuuuuh (tepok jidat).  Di sisi lain, jalur bawah tanah pun terbentuk secara alami. Iklan berkembang di antara Tim Faskel, FKA BKM, dan di jejaring sosial.

Desa Padamulya Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung, menjadi desa pertama yang dikunjungi. Dilaksanakan pada 29 Januari 2014, bertempat di SDN 1 Padamulya, saya berkesempatan mengisi materi dalam pelmas untuk UPS. Berikutnya loncat ke cluster kecamatan, yaitu Majalaya, Cileunyi dan Cimenyan Kabupaten Bandung, kemudian kecamatan Lembang dan Cimareme Kabupaten Bandung Barat, kecamatan Tajur Halang dan Cibinong Kabupaten Bogor, kecamatan Babakan Ciparay, Bojongloa Kaler, Andir, Bojongloa Kidul dan Bandung Kulon Kota Bandung. 

Selanjutnya kecamatan Beji, Cipayung, Cilodong dan Sukmajaya Kota Depok, kecamatan Jatisampurna dan Bekasi Barat Kota Depok, serta cluster kota di Kabupaten Bekasi, Kota Sukabumi, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Di beberapa kecamatan, materi motivasi dilanjutkan ke tingkat kelurahan/desa dengan peserta yang berbeda dan bertambah banyak. Total 42 pelmas, di 9 kota/kabupaten yang terdiri dari 4 cluster kota/kabupaten, 18 cluster kecamatan/tim dan 20 tingkat kelurahan/desa. Pelmas di kelurahan Caringin kecamatan Bandung Kulon Kota Bandung, menjadi lain karena terdapat peserta yang pingsan dalam sesi Refleksi Diri. Sementara di  kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor, materi motivasi dilaksanakan dari siang hingga tuntas di malam hari. Terakhir cluster kota di Kabupaten Bogor dengan peserta lebih dari 300 orang.

Catatan Kecil

Mengunjungi 9 kota/kabupaten, memberikan banyak hal. Tapi cukup diungkap dari 3 sisi, yaitu pelaksanaan pelmas itu sendiri, materi motivasi dan hal lain yang diperoleh, ketika dalam perjalanan pergi dan pulang serta selama berada di lokasi pelaksanaan pelmas. Kesiapan BKM yang menjadi panitia dan diback-up total oleh tim, kehadiran peserta dengan karakter yang beragam, ketersediaan peralatan mendasar seperti spidol dan lakban di luar infocus dan soundsystem, ketersediaan waktu yang dialokasikan untuk materi motivasi, konsumsi yang berbeda penyajian dan penyerahannya, beragam doorprize yang disiapkan panitia dan tim faskel, dan suasana pelatihan sebelum masuk materi motivasi. Tidak terlupakan, beragamnya ‘buah tangan’ yang diberikan oleh panitia. Kemudian di akhir acara, beberapa peserta melakukan copy file materi tersebut.

Sementara dari materi motivasi, muatannya menjadi tambah ‘makmur’ dan bervariasi. Materi ini awalnya berdasarkan catatan kecil di handphone sebagaimana telah saya ungkap dalam Out Of The Box II edisi 18 April 2011. Seiring waktu, materi motivasi dipadupadankan dengan materi yang saya peroleh pada saat TOT Pemanas di Lembang tahun 2012. Saat ini, secara keseluruhan, materi tersebut berisi 14 materi yang terdiri 2 tayangan film dan 12 slide. Di dalamnya terdapat juga 7 lagu dan beberapa game. Seluruh materi dibagi dalam 3 sesi, yaitu sesi Motivasi, Kebersamaan dan Refleksi Diri. Di banyak lokasi, karena keterbatasan waktu, hanya selesai di sesi Motivasi. Tapi di beberapa lokasi, materi bisa tuntas hingga 3 sesi.

Dari sisi lain, yaitu selama perjalanan ke 9 kota/kabupaten tersebut, banyak hal yang menggambarkan betapa Jabar dan Indonesia itu luas dan beunghar, tapi tak berdaya dengan serbuan dan pertambahan penduduk, geliat ekonomi dan dampak yang mengiringinya. Betapa merananya warga Ciawi sepanjang jalur puncak, menerima takdir di setiap akhir pekan untuk menjalani aturan ‘one way’. Sarana transportasi yang demikian terbatas, tidak terpadu, tidak layak karena sudah uzur dan karatan serta pengenaan tarif yang tidak beraturan. 

Berikutnya trotoar yang aneka rupa dan banyak gaya. Di satu titik, trotoar belum dibuat, di titik lain, trotoar dibangun di atas drainase dan di titik lainnya, trotoas dijejali PKL. Pejalan kaki terpinggirkan. Berikutnya kondisi jalan yang rusak dengan tingkat kemacetan hebat. Pasukan ninja – pengendara sepeda motor – demikian merajai jalanan, seakan hanya dirinya yang mesti lebih dulu sampai ke tujuan. Hal lainnya, menyoroti kantor kelurahan/kepala desa, kantor polsek, gedung sekolah, terminal, WC umum, musholla, dll. Bisakah memberikan pelayanan maksimal pada masyarakat, sementara aparatnya bekerja dengan fasilitas yang tidak memadai dan nyaman?  Banyak gedung/kantor/fasilitas umum yang tidak terawat, seakan menguatkan adagium bahwa kita hanya bisa membangun, tapi tidak pandai merawat. Sisi lain sesuai nafas kita, adalah kumuhnya sebuah wilayah dengan beragam masalah di dalamnya. Bom waktu yang dapat berakibat massal dan dahsyat. Duh, Gusti, pasihan kekuatan pada kami untuk dapat berkontribusi membangun negeri.

Berbagi
Akhirnya, dengan niatan untuk berbagi sebatas yang saya bisa, ada suatu keinginan untuk menyebarkan materi motivasi ini ke seluruh wilayah di Indonesia. Cita-cita agar semakin banyak pelaku yang bisa menyebarkan materi ini. Harapan agar semakin banyak warga yang bisa menikmati materi ini karena hidup adalah untuk berbagi.

Out Of The Box II